LENSAINDONESIA.COM: Walaupun Indonesia menganut sistem Presidential, namun praktiknya masih merujuk semi parlementer. Karena itu, Presiden Indonesia masih belum tenang bekerja tanpa dukungan parlemen, terutama masalah legislasi dan penganggaran.
“Karena di Indonesia ini adalah multipartai, jadi penting membangun koalisi untuk mendapatkan dukungan besar di parlemen,” kata Pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah, Saiful Umam, mengingatkan di Jakarta, Sabtu (26/07/2014).
Baca juga: Jokowi mudik ke Solo, kubu Prabowo-Hatta daftar gugatan di MK dan Susunan Kabinet "Revolusi Mental" Jokowi-JK pilih figur profesional
Jika pemerintahan Jokowi-JK tidak mampu merangkul beberapa partai yang ada di parlemen, dikhawatirkan akan blunder dan membuat pemerintahan Jokowi-JK digoyang, serta sulit menjalankan kebijakan-kebijakan yang dijanjikan kepada rakyat.
“Paling nggak partai pendukung, karena sistem presidential dengan sistem multipartai, mengharuskan presiden mengakomodir perwakilan dari partai,” kata peraih doktor dari Universitas Hawaii itu.
Bagi Saiful, perwakilan dari partai politik yang akan duduk di kabinet, bukan berarti merupakan figur yang tidak memiliki kompetensi. Menurut Saiful, banyak kader partai yang mempunyai profesionalitas dan kapabilitas di berbagai bidang.
“Profesional itu bisa dibagi dua, profesional murni dan ada juga profesional partai,” katanya.
Bahkan, bagi Saiful, jika dibandingkan antara profesional partai dengan profesional murni, profesional partai dianggap lebih memiliki leadership dan pengetahuan tentang konstalasi politik di parlemen.
“Dari segi leadership, orang partai lebih baik daripada orang profesional. Selain itu, orang partai sudah terbiasa dengan beberapa gerakan dan wacana politik yang terjadi di pemerintahan,” tandasnya.
Apalagi, orang-orang partai politik, mempunyai peran yang besar terhadap proses pemenangan pasangan Jokowi-JK. Jadi, imbuh Saiful, bentuk tanggungjawabnya lebih besar dari orang-orang non Parpol yang tidak berperan besar di Pilpres nantinya.
“Orang-orang non Parpol tidak keringetan di Pilpres dan tidak bisa mengatasi kebuntuhan politik dan tidak ada leadership,” pungkasnya.
Sementara itu, pandangan lain mengistilahkan kabinet Jokowi lebih tepat dengan sebutan “Kabinet Revolusi Mental”, agar bila diisi menteri dari figur profesional partai, jadi koridor moral bekerja untuk rakyat dan bukan demi kepentingan partai seperti Kabinet Indonesia bersatu (KIB)-nya pemerintahan SBY. Mengingat, tagline politik Jokowi-JK merayu rakyat selama kampanye Pilpres adalah “revolusi mental” dalam menjalankan pemerintahannya. @endang
0 comments:
Post a Comment