Saturday, July 26, 2014

Idul Fitri, budaya menu tiwul lebih manfaat dibanding sirloin steak

Idul Fitri, budaya menu tiwul lebih manfaat dibanding sirloin steak




LENSAINDONESIA.COM: Tanggal 1 Syawal diperingati umat muslim di seluruh dunia sebagai Hari Raya Idul Fitri. Umat muslim Indonesia menyebutnya hari raya ini dengan istilah Lebaran. Padahal, Idul Fitri dan Lebaran mempunyai makna yang berbeda.


Menurut seorang artis dan seniman asal Jawa Barat, Eddie Karsito, lebaran merupakan produk kebudayaan (akulturasi) antara Islam (Timur Tengah) dan Nusantara (Indonesia). Berkembangnya tradisi ini diawali sejak tahap permulaan proses penyebaran Islam di Indonesia khususnya Pula Jawa (abad ke-14).


Baca juga: Berkas perkara dul sudah P21, Jaksa tunggu pelimpahan tersangka dan Umat muslim Majalaya senyum tidak ada perbedaan awal Idul Fitri


Salah satu yang menyebabkan mudahnya diterima nilai-nilai (tradisi) Islam, karena Islam memiliki toleransi cukup baik ketika bersinggungan dengan budaya lokal.


“Salah satu fenomena tradisi Lebaran adalah mengenakan baju baru dan melimpahnya makanan (termasuk menu steak). Lebaran masa kini menjadi semacam titik kulminasi dari pengeluaran belanja rumah tangga yang kadang tak rasional dengan kemampuan sosial ekonomi seseorang. Tidak jarang produk dari fenomena sosial semacam ini pada akhirnya hanya kemubaziran belaka,” Eddie Karsito kepada LICOM di Jakarta.


Eddie menjelaskan, dalam catatan tarikh, sejak era kekuasaan Sir Thomas Stamford Bingley Raffles (Gubernur-Jenderal Hindia Belanda) sekitar abad ke-18, hingga awal kemerdekaan tahun 1960-an, sebagian besar masyarakat Indonesia masih dalam tataran hidup miskin dan sengsara.


Untuk pakaian (baju) yang dikenakan sebagian besar orang Nusantara, masih berupa bahan Goni (sejenis bahan karung dari serat pohon Goni), kain Blacu (kain Mori). Atau, paling tinggi dapat mengenakan pakaian dari kain Drill berbahan kasar, yang dicucinya menggunakan bahan tepung Kanji, tepung singkong, aci sampeu atau tepung Tapioka.


Karena miskin dan sengsara itu pula makanan yang dapat bangsa Indonesia konsumsi adalah jagung, umbi-umbian; ketela pohon/singkong, ketela rambat/ubi jalar, atau garut yang kemudian diolah menjadi gaplek (ketela pohon yang dikeringkan), dimasak menjadi tiwul, sawut, dan olahan sejenisnya. Lauk pauknya bertumpu pada kebaikan alam. Beras (nasi) masih menjadi makanan mewah kala itu. Dan, kesederhanaan ini ternyata lebih tinggi manfaatnya dalam aspek theologis maupun sosiologis.


“Inilah agaknya kearifan (ijtihad) para ulama kala itu menyikapi kondisi obyektif masyarakat yang masih terbilang miskin dan sengsara, akibat penjajahan dan kondisi sosial lainnya. Maka dengan ijtihadnya, Idul Fitri atau Lebaran dijadikan media haul (perayaan yang mendatangkan manfaat).

Sehingga hanya pada saat itulah masyarakat yang miskin dan sengsara dapat silaturahmi, menikmati kegembiraan makanan lezat; nasi dengan lauk pauknya, memotong hewan ternak, seperti ayam, bebek, kambing dan lain sebagainya,” jelas Eddie.


“Di luar masa Idul Fitri, jangan harap masyarakat bisa makan enak dan mengenakan pakaian bagus dengan bahan lebih halus,” imbuh Eddie yang kini aktif mengajar di Rumah Singgah Bunda Lenny Humaniora Foundation dan Karya Anak Bangsa Batam.


Eddie membandingkan dengan kehidupan masyarakat saat ini yang dapat membeli pakaian (baju) dan makanan enak setiap waktu. Maka tradisi Idul Fitri atau Lebaran masa kini, hampir-hampir tidak bersentuhan sama sekali dengan dialektika baik dari sisi nilai sosiologis maupun theologis yang sesungguhnya dikandung dan dituntut oleh konteks nilai Idul Fitri itu sendiri.


Bahkan, bertolak belakang dengan sistem nilai yang telah diajarkan oleh bulan suci Ramadhan berupa “menahan” dalam segenap tataran perilaku dalam kehidupan. Apalagi dari jargon pola hidup sederhana, seyogianya setiap pribadi muslim menjadikan Idul Fitri sebagai ajang perenungan untuk menghindari pola hidup yang berlebihan.


Tradisi Lebaran masa kini, akhirnya hanya menjadi fenomena eksklusif dari hari raya yang teramat sulit menemukan garis relevansi sejarah dan theologisnya. Selain itu, Lebaran masa kini sudah menjadi komoditas atau barang dagangan yang kehilangan esensi dan terlanjur dimanfaatkan para kapitalis menjadi mesin industri.


“Ayo kita kikis kebiasaan bermewah diri (hura-hura) di hari lebaran. Sebab dari kemewahan lebaran yang kamu hamburkan, sesungguhnya masih banyak kaum papah (fakir miskin) yang membutuhkan. Wallahu a’lam bishawab,” tutur Eddie. @Rudi_ad


alexa ComScore Quantcast

Google Analytics NOscript

0 comments:

Post a Comment