Friday, May 30, 2014

Jokowi, Patung Manusia Lumpur Lapindo, dan sajak AKU

Jokowi, Patung Manusia Lumpur Lapindo, dan sajak AKU



LENSAINDONESIA.COM: Dia Dadang Christanto, seniman perupa kreator seni instalasi “1001 Manusia Patung” di Pantai Ancol (1996).


Saat itu, karyanya sempat sehangat seruputan kopi di warung-warung ‘angkringan’

masyarakat seniman dan budayawan Indonesia. Dua tahun kemudian, negeri ini diguncang tragedi berakhirnya zaman Orba, dan lahir periodisasi era Reformasi sampai sekarang.


Baca juga: Ini dia keuntungan dua pasangan Capres 2014 dan Dianggap sosok yang tepat, Komite Aksi Mahasiswa dukungan Jokowi-JK


Dadang yang semasa belia sempat berproses di Sanggar Bambu Yogyakarta, SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa) dan ASRI (Akademi Seni rupa Indonesia), disengaja atau tidak, berimprovisasi atau dendam sebuah angan-angan, belakangan bertemu Capres Jokowi, yang pernah menjadi mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM. Disengaja atau tidak, berpolitik jahat atau politik kebajikan, keduanya kolaborasi; Jadilah kesenian politik.


Seniman Dadang berkarya Patung Manusia Lumpur Lapindo, sang Calon Presiden Jokowi mengumpulkan massa, sekaligus mengukuhkan perhelatan karya seni instalasi politik; Patung Manusia Lumpur Lapindo. Dihelat genap delapan tahun terjadinya tragedi musibah teledor proses pengeboran Migas oleh perusahaan Lapindo Brantas Inc milik anak negeri Aburizal Bakrie, yang belakangan batal maju Capres versi Golkar, dan legowo mendukung Capres Prabowo, yang diusung Gerindra, partai pemenang pileg dibawa Golkar.


Tepatnya, sejak 29 Mei 2006, bumi kawasan desa bernama “Tanggul Angin”, sebuah nama misteri; ‘menanggul angin’ –wilayah Porong, Sidoarjo, Jawa timur– menyemburkan jutaan kubik lumpur. Ribuan jiwa yang rumahnya terkubur lumpur menangis. Ada satu dua yang gila dan mati karena hatinya teriris dan luka. Ada yang gembira karena mendadak mendapatkan harta, tak peduli apa itu halal atau haram. Ada yang bersedih dan merana menanti janji ganti rugi belum kunjung tiba.


Delapan tahun lumpur tak bisa dibendung, bahkan terus menebar campur sari was-was. Kepala Daerah –Bupati Sidoarjo Wien Hendarso– yang pernah tersanjung karena jadi rujukan banyak partai politik dan uang lumpur pun sempat masuk bui karena tuduhan korupsi, meski tidak terkait dana lumpur. Partai Golkar dipimpin Big Boss Lapindo Aburizal Bakrie seperti terus terkena “belepotan” lumpur Lapindo. Presiden SBY pun sempat terbawa-bawa ‘belepotan lumpur’ karena mengeluarkan Perpres 14/2007. Isinya, minta Lapindo Brantas Inc bayar Rp3,383 T ganti rugi korban di area terdampak, dan ganti rugi Rp3,605 T luar area terdampak ditanggung APBN. Realisasinya sarat adem panas suhu politik.


Patung Manusia Lumpur Lapindo karya perupa Dadang, sah ditafsirkan bahwa lumpur itu sejatinya ribuan bahkan jutaan jiwa. Siapa pun, kekuatan maupun model politik semacam apa pun jangan coba-coba bersiasat ‘akal-akalan’ membendung, mempolitisasi lumpur Lapindo. Maklum, seperti sudah diingatkan orang-orang jauh sebelum zaman kerajaan Singosari –cikal bakal Kerajaan Mojopahit– yang kemudian muncul nama desa “tanggul Angin”. Siapa menabur lumpur akan menuai badai lumpur.


Barangkali juga sah pula, menafsirkan Lumpur lapindo seperti sajak “Aku”-nya penyair Khairil Anwar (1943) seperti ini;




Aku

Kalau sampai waktuku

‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu

Tidak juga kau


Tak perlu sedu sedan itu


Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang


Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang


Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri


Dan akan akan lebih tidak perduli


Aku mau hidup seribu tahun lagi


Khairil Anwar, 1943

Dadang Christanto dengan sahabatnya. dadang-20 ng-17 dadang-22 ng-19 dadang-8 dadang-12 dadang-manusia dadang-13 dadang-11 dadang-4 dadang-4 dadang-5 dadang-6 dadang-21 ng-7 dadng-2 dadang-17 jokowi-3 jojkowi-2


alexa ComScore Quantcast

Google Analytics NOscript

0 comments:

Post a Comment