Thursday, January 30, 2014

Penangkapan Anggoro Widjojo harus diikuti buron BLBI

Penangkapan Anggoro Widjojo harus diikuti buron BLBI




LENSAINDONESIA.COM: Anggota Komisi III DPR RI, Sarifuddin Sudding menilai penangkapan buronan kasus Sitem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Kementerian Kehutanan, Anggoro Widjojo oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) patut diapresiasi.


“Langkah KPK patut kita apresiasi, karena cukup banyak buronan kasus korupsi yang saat ini berada di luar negeri dan sangat sulit untuk dilakukan ekstradisi dan karenanya dengan penangkapan Anggoro tersebut oleh KPK dapat pula diikuti oleh institusi penegak hukum lainnya terhadap para buronan kasus BLBI yang berada di luar negeri,” kata Sarifuddin Sudding pada LICOM Jakarta, Kamis (30/01/2014).


Baca juga: Buron lima tahun, Anggoro Widjojo akhirnya dibui di Rutan Guntur dan Anggoro Widjojo diperiksa KPK dengan tangan terborgol


KPK sudah menetapkan Anggoro Widjojo sebagai tersangka sejak 19 Juni 2009. Anggoro Widjojo dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) atau Pasal 13 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


Keterlibatan Anggoro Widjojo ini sebelumnya diketahui dalam persidangan kasus suap proyek Tanjung Api-api dengan terdakwa Yusuf Emir Faishal.


Dalam persidangan, Yusuf Emir didakwa telah menerima uang Rp 125 juta dan 220 ribu dolar AS. Uang tersebut imbalan atas membantu persetujuan anggaran pada program revitalisasi gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan.


Proyek SKRT ini bermula pada Januari 2007 saat Departemen Kehutanan mengajukan usulan rancangan program revitalisasi rehabilitasi hutan.


Saat itu, kementerian yang dipimpin Malam Sambat Kaban mengajukan anggaran Rp 180 miliar. Padahal, proyek ini sudah dihentikan pada 2004 pada masa Menteri Kehutanan, M. Prakoso.


Anggoro Widjojo diduga telah mempengaruhi anggota Komisi Kehutanan DPR RI untuk melanjutkan proyek tersebut. Kemudian, Komisi Kehutanan yang dipimpin Yusuf Emir Faishal mengeluarkan surat rekomendasi pada 12 Februari 2007. Surat rekomendasi itu juga ditandatangani oleh Hilman Indra dan Fachri Andi Leluasa.


Mengetahui adanya usulan itu, Yusuf Emir meminta Muchtarrudin melakukan pertemuan dengan perwakilan PT Masaro Radiocom, Anggoro Widjojo sebagai rekanan pengadaan alat komunikasi. Pertemuan itu guna membicarakan fee yang akan diberikan PT Masaro kepada komisi kehutanan.


Surat itu meminta Departemen Kehutanan untuk meneruskan proyek SKRT. Disebutkan pula bahwa untuk pengadaan itu sebaiknya menggunakan alat yang disediakan PT Masaro.


Pada 16 Juni 2007 anggaran disetujui. Lembar pengesahan ditandatangani oleh Menteri Kehutanan MS Kaban yang juga sudah diperiksa KPK.


Selain memberikan uang kepada Yusuf Emir, Anggoro Widjojo juga diduga telah membagikan uang kapada sejumlah anggota Komisi Kehutanan lainnya seperti Fahri Andi Leluasa senilai 30 ribu dolar AS, Azwar Chesputera 30 ribu dolar AS, Hilman Indra 140 ribu dolar AS, Muctarrudin 40 ribu dolar AS, dan Sujud Sirajuddin Rp 20 juta.


PT Masaro Radiokom adalah perusahaan yang menjadi rekanan Dephut dalam pengadaan SKRT. Kasus dugaan korupsi ini terungkap saat KPK menggeledah kantor Yusuf Emir di Gedung PT Masaro pada Juli 2008, terkait kasus suap proyek Tanjung Api-api. Proyek senilai Rp 180 miliar ini diduga telah merugikan negara Rp 13 miliar.@endang


alexa ComScore Quantcast

Google Analytics NOscript

0 comments:

Post a Comment