LENSAINDONESIA.COM: Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia dan Lingkar Madani Indonesia (LIMA Indonesia), mendatangi Bawaslu RI untuk mengadukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Jumat (28/3/14). Kedua lembaga ini menduga Presiden melakukan pelanggaran kampanye Pemilu 2014.
“Kami diterima oleh Komisioner Bawaslu RI,” jelas Wakil Sekjend KIPP Indonesia, Girindra Sandino dalam keterangan persnya kepada Licom, Jumat (28/3/14). Komisioner Bawaslu menerima pengaduan kedua lembaga independen pemantau Pemilu 2014 itu.
Baca juga: Ini tindakan Bawaslu pada Parpol yang libatkan anak dalam kampanye dan Cagub dan Cawagub Lampung dari Demokrat terancam didiskualifikasi
Berikut laporan pengaduan KIIP dan Ray Rangkuti, Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Demokrasi Indonesia (LIMA Indonesia) ditulis secara lengkap;
Sebagaimana diketahui secara luas Presiden yang sekaligus sebagai Ketua Umum Partai Politik Demokrat melaksanakan kampanye di Lampung, pada Rabu, 26 Maret 2014. Presiden melakukan perjalanan ke Lampung dengan mempergunakan pesawat komersil yang diketahui dibiayai dengan uang negara.
Sementara satu-satunya agenda presiden ke Lampung hanyalah kepentingan berkampanye bagi Partai Demokrat. Jadi hal ini dapat disebut perjalanan di luar tugas negara alias perjalanan semata-mata untuk kepentingan partai politik.
Perjalanan pejabat negara dengan mempergunakan dana negara untuk kepentingan kegiatan partai politik merupakan salah satu pelanggaran berat dalam pemilu. Larangan itu diatur dengan tegas di dalam UU No. 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, khususnya yang terkait dengan pasal 129 ayat (1) dinyatakan bahwa dana kegiatan kampanye pemilu partai politik peserta pemilu menjadi tanggung jawab partai politik peserta pemilu.
Sementara dalam pasal 139 ayat (1) menegaskan bahwa peserta kampanye dilarang menerima dana kampanye yang bersumber dari (a). Pihak asing, (b). Penyumbang tidak jelas identitasnya dan (c). Pemerintah, pemerintah daerah, BUMN dan BUMD atau (d). pemerintah desa atau Badan Usaha Milik Desa.
Disinilah masalahnya. Dalam perjalanan ke Lampung tersebut, Presiden memang tidak mempergunakan pesawat kepresidenan, sehingga pada tingkat tertentu tidak dapat dinyatakan mempunyai fasilitas negara, akan tetapi menggunakan pesawat umum yang disewa dengan uang negara.
Penggunaan uang negara inilah yang sejatinya menjadi pokok persoalan, oleh karena:
Pertama, penggunaan uang negara untuk kepentingan penyewaan pesawat komersil guna dipakai untuk perjalanan kampanye presiden tidak serta merta dapat disebut sebagai penggunaan fasilitas negara yang melekat pada diri seorang presiden (lihat defenisi fasilitas negara dalam Kepmen Keuangan No. 225/MK/4/1971 tentang Pedoman Pelaksanaan Inventarisasi Barang-barang Milik Negara, bahwa yang disebut fasilitas negara adalah dikuasai oleh negara/pemerintah, dibiayai oleh APBN atau APBD, dibawah pengurusan lembaga-lembaga negara dalam arti yang luas, tidak termasuk barang atau kekayaan yang dimiliki oleh BUMN/BUMD, yang pemanfaatannya ditujukan secara khusus untuk kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan.
Kedua, setiap penggunaan dana untuk kepentingan pelaksanaan kampanye partai politik, seharusnya dihitung sebagai pemasukan dana ke kas partai politik. Sementara itu ditegaskan bahwa dana yang berasal dari pemerintah merupakan dana yang diharamkan untuk dipergunakan.
Ketiga, dalam perjalanan itu sendiri, selain presiden tidak sedang dalam melaksanakan tugas negara, juga sedang dalam cuti di luar tanggungan negara (pasal 87 ayat 1 huruf b, UU No. 8/2012). Artinya di luar aspek pengamanan, sejatinya negara tidak dapat diperkenankan menggelontorkan dana untuk kegiatan apapun yang dilaksanakan oleh presiden. Lebih-lebih masih dapat dipertanyakan apakah pengamanan yang dimaksud berarti memfasilitasi seluruh kebutuhan presiden bahkan sekalipun hal itu tidak terkait dengan tugas-tugas negara.
Padahal, dalam UU No. 7/1978, pasal 3 menyebutkan bahwa kepada presiden, di samping gaji pokok dan tunjangan, diberikan dana negara yang hanya berhubungan dengan pelaksanaan tugas kewajiban kenegaraan. Jika kita mengembangkan pemahaman atas pengamanan presiden maka bisa jadi ke depan apapun yang menjadi aktivitas presiden dapat dikenai pembiayaannya dari negara karena alasan demi keamanan presiden. Artinya bukan hanya untuk biaya perjalanannya yang dapat dibiayai oleh negara, tapi panggung, gedung dan sebagainya dapat juga dikenai biaya negara dengan alasan karena menjadi bagian dari pengamanan atas presiden. Tentu saja makna demi keamanan presiden menjadi kabur, khususnya bila dikaitkan dengan fasilitas negara dan dana pemerintah untuk kepentingan kampanye partai politik.
Keempat, sekalipun misalnya dinyatakan bahwa hal itu merupakan bagian dari pengamanan atas pribadi dan keluarga presiden yang melekat dengan dirinya sendiri, maka hal ini akan dapat berakibat tidak adil pada perlakuan dalam pelaksanaan pemilu. Sebab, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 18/2013 tentang Cara Pengunduran Diri Kepala Daerah, dan Pegawai Negeri Yang Akan Menjadi Bakal Calon Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPR Kabupaten/Kota, Serta Pelaksanaan Cuti Pejabat Negara Dalam Kampanye menyatakan bahwa kepada calon Presiden dan calon Wakil Presiden, selama berkampanye diberikan fasilitas pengamanan dan pengawalan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kelima, artinya ada potensi perlakuan tidak adil kepada peserta pemilu yang sudah dinyatakan secara resmi sebagai calon presiden. Seharusnya kepada mereka yang sudah dinyatakan sebagai calon presiden oleh partai politik masing-masing dapat mempergunakan dana negara untuk kepentingan pengamanan sebagaimana hal itu disebut di dalam pasal 27 ayat (3) tadi. Faktanya, ada perlakuan diskriminatif. Presiden yang bukan calon presiden dapat mempergunakan dana negara untuk kepentingan kampanyenya. Padahal aturan menyatakan bahwa keduanya mendapat perlakuan keamanan dan pengawalan.
Dengan mempertimbangkan hal itu semua, kami menyatakan bahwa penggunaan dana negara untuk kepentingan pengamanan perjalanan kampanye partai politik oleh presiden berpotensi melanggar pasal 139 ayat (1) huruf c UU No. 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, yakni menerima dana pemerintah untuk kepentingan biaya kampanye. Tindakan ini juga dapat berpotensi melanggar asas jujur dan adil sebagaimana diatur dalam pasal 2, UU No. 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD . Di satu pihak atas nama fasilitas yang melekat dalam pengamanan seorang presiden, maka dapat diperkenankan menggunakan keuangan negara untuk kegiatan yang tidak terkait dengan tugas negara, sementara dengan aturan sama yakni keharusan untuk mengamankan calon presiden dan wakil presiden tidak dapat menggunakan dana negara.
Kami mendesak Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) segera memanggil Presiden Republik Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono untuk dimintai keterangan karena sebagaimana telah diatur pasal 139 ayat 2 UU No. 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, bahwa penerimaan dana kampanye dari sumber pemerintah harus segera dilaporkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan menyerahkannya ke kas negara paling lambat 14 (empat belas) hari setelah masa kampanye berakhir. Pertanyaannya apakah penerimaan dana kampanye yang berasal dari pemerintah telah dilaporkan dan kemudian dikembalikan ke kas negara. @pr/yuanto
0 comments:
Post a Comment