LENSAINDONESIA.COM: Suhu politik Pilpres 9 Juli mulai naik tensi. Elit politik masing-masing kubu parpol pendukung pasangan Capres Cawapres Jokowi-Jk dan Prabowo-Hatta saling tuding melempar kampanye hitam.
Lebih memanas lagi setelah ada pernyataan politisi senior pendiri PAN, Amien Rais, yang menyebut-nyebut
“perang badar” dikaitkan dalam pertarungan Pilpres 2014. Diketahui, perang badar merupakan peperangan sengit pada 17 Ramadhan tahun ke Hijriyah (13 Maret 624 M) antara kaum muslim dengan bangsa Quraisy.
Baca juga: KPU tetapkan Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta pasangan capres-cawapres dan KPU umumkan penetapan Capres dan Cawapres, adem ayem
Praktis, pernyataan itu mengundang reaksi keras terutama dari kubu pendukung pasangan Jokowi-JK khususnya dari kalangan Nadliyin. Bahkan, KH Solahudin Wahid, adik kandung Presiden Gus dur –pendukung Jokowi-JK–
menyayangkan pernyataan yang dapat ditelan mentah-mentah masyarakat dan bisa memancing keruh tersebut.
Lain lagi kader perempuan PDI Perjuangan tergolong cukup vokal, Rieke Diah Pitaloka. Anggota DPR RI
ini mengaku gerah mencermati merebaknya kampanye-kampanye hitam yang dilancarkan kepada pasangan Jokowi-JK. Rieke menyebut aksi belakangan sudah mengarah propaganda dan teror.
Rieke menyayangkan, karena model kampanye seperti itu merupakan metode yang digunakan tentara Nazi Hitler dan pendukungnya. Kampanye hitam berbau SARA jadi senjata mempengaruhi psikologis massa. Hitler terpilih melalui Pemilu yang sah di Jerman. Isi kampanyenya menebar kebencian, permusuhan dan perpecahan.
“Berkembangnya “kampanye hitam” pada Pilpres kali ini, bagi saya merupakan kemunduran dalam sejarah demokrasi Indonesia. Berbagai selebaran yang menyudutkan Jokowi dan dibagikan di tempat-tempat publik, tidak bisa dianggap hal yang biasa. Itu tidak biasa, tidak boleh dianggap biasa dan wajar,” tegas Rieke.
Menurut Rieke Selain pembodohan terhadap publik, juga berbahaya bagi sistem berdemokrasi yang sudah berkembang. Pihak-pihak yang menggunakan cara-cara seperti itu harus diusut tuntas, ditangkap dan diadili.
“Dunia punya catatan kelam atas pembantaian terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh politik Nazi. Sebuah
kekuasaan yang lahir dari metode kekerasan bernama propaganda dan teror,” katanya.
Bahkan, lanjut Rieke, di pra kekuasaan ada di tangan mereka. Cara menentukan hasil, kemenangan politik
yang menggunakan cara-cara hitam bertendensi melahirkan kekuasaan yang pekat. “Tanpa tedeng aling-aling membungkam suara kritis, melenyapkan hak azasi rakyatnya sendiri atas nama kekuasaan,” kata Rieke, memperingatkan.
Menurut Anggota Komisi IX ini, Indonesia juga pernah ada pada masa kegelapan itu, pada era Orde Baru. Ia tidak ingin roda kekuasaan kembali ke arah kekuasaan model itu lagi.
“Saya mengajak semua pihak untuk menyuarakan “Lawan penyebar propaganda dan teror”. Pemerintah SBY juga tidak boleh tinggal diam, karena diamnya pemerintah berarti setuju,” tegas Rieke.
“Siapa pun yang menemukan siapa saja menebar fitnah keji, kebencian, kampanye SARA dalam bentuk apa pun, tangkap, ekspos ke media dan media sosial. Tidak ada artinya sebuah kekuasaan yang diawali dengan kekerasan, apalagi sampai memicu disintegrasi,” pungkasnya. @endang