LENSAINDONESIA.COM: Calon wakil Presiden Hatta Rajasa dinilai sangat mengusai materi debat Cawapres tahap empat dengan tema ‘Pembangunan Sumber Daya Manusia dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi’ yang di gelar di Hotel Bidakara, Jakarta, Minggu, (29/06/2014) malam.
Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Prof. Ir. Widi Agoes Pratikto menyampaikan, dalam debat tersebut wawasan Hatta Rajasa lebih update dibandingkan Cawapres nomor urut 2, Jusuf Kalla (JK).
Baca juga: Hatta janji sekolah gratis sampai PT, JK kedepankan hargai peran ibu dan Nonton debat, Titiek duduk di samping Prabowo, tapi saling cuek
“Pak Hatta lebih update dalam menyampaikan penguasaan informasi dan mendeliver dengan baik. Nampak bahwa persiapannya cukup komprehensip,” kata profesor Bidang Ocean Engineering lulusan The Washington University, As ini kepada lensaindonesia.com, Minggu malam.
Menurut Pratikto, dalam debat Hatta Rajasa tampak lebih menguasai materi pembahasan dengan pemaparan yang dilengkapi data-data nasional. Sementara JK sendiri tampak mengandalkan retorika sederhana tanpa didasari data. Bahkan mantan Wapres Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu tampak kelabakan ketika disinggung bahwa dirinya pernah tidak sepaham dengan pendidikan gratis di Indonesia.
“Pak JK cenderung menekankan pentingnya budi pekerti dalam pendidikan. Beliau (JK) pun hanya menyamapikan bahwa hal itu dapat dilaksanakan di materi-materu kuliah atau pendidikan di sekolah,” ujar Pratikto.
Pria yang pernah menjabat sebagai Dirjen dan juga Sekjen di Kementerian Kelautan dan Perikanan ini memaparkan, secara umum debat merefleksikan comprehension atas kondisi SD dan IPTEK di Indonesia. Dimana concern-nya meliputi: 1. Disparitas kualitas Pendidikan di seluruh Indonesia, 2. Kesempatan untuk memperoleh sekolah dan bagaimana mengatasinya, 3. Kualtitas dan Unas/Evaluasinya, 4. Bagaimana kualifikasi kualitas SDM untuk menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) dan Kompetisi mendatang, 5. Bagaimana Center of Excellence dikembangkan, 6. Bagaimana mengurangi TKI dan TKW dengan Kesempatan Kerja di NKRI, 7. Bagaimana peran inovasi untuk ketahanan bangsa dan produktivitas bangsa, 8. Braindrain, 9. Global Competitiveness, 10. Bagaimana hubungan SDA dan SDM kedepan, 11. Bagaimana Lembaga Penelitian di integrasikan dengang kegiatan Perguruan Tinggi dan perusahaan, 12. Bagaimana ketahanan bangsa dari perpektif kekuatan SDM.
“Jawaban Cawapres nomor urut 1 tentang 12 problematika tersebut lebih tajam dan berdasar,” kata Pratikto.
Terkait mengurangi disparitas memperoleh kesempatan belajaar, kata Pratikto, Cawapres nomor urut 2 Hatta memiliki gagasan bahwa, untuk mengatasi hal itu, infrastruktur pendidikan harus dipenuhi. Lalu, kemampuan daerah untuk pengelolaan pendidikan harus di tingkatkan. Disamping itu, jumlah guru yang ‘berkelas’ harus menjadi program penting dan pokok.
“Memang benar kata Pak Hatta, detasiring guru dari Jawa ke luar Jawa harus dilakukan untuk mengisi kekurangan guru berkualitas. Program pengadaan guru harus menjadi prioritas sehingga yang mengikuti pendidikan guru haruslah lulusan SLTA terbaik,” urainya.
Doktor (PhD) di North Carolina State University, AS ini sependapat dengan Hatta yang menyatakan bahwa pendidikan juga merupakan refreksi kualitas SDM tenaga kerja.
Dalam debat tersebut, Menko Perekonomian Kabinet Indonesia bersatu Jilid II itu mengatakan, saat ini tenaga kerja di Indonesia masih didominasi lulusan SD. Dimana jumlahnya mencapai 46 persen. Sedangkan tenaga kerja lulusan perguruan tinggi hanya 6 persen saja. Maka untuk mengatasi keadaan itu, angka partisipasi pendidikan harus ditingkatkan sampai dengan 40 persen sebagaimana yang dilakukan Malaysia.
Untuk meningkatkan linkage pendidikan dengan inovasi, menurut Hatta, maka sekolah-sekolah seyogyanya memiliki laboratorium. Disamping itu kemampuan berimajinasi harus ditingkatkan untuk meningkatkan kreativitas dan inovasi.
“Dalam debat tadi Cawapres nomor 1 terlihat banyak melakukan elaborasi dan memahami masalah ini. Apalagi Pak Hatta juga mengusulkan pelaksanaan seksama Pendidikan Gratis sampai sekolah 12 tahun (SLTA),” ungkap Pratikto.@ridwan_LICOM
0 comments:
Post a Comment