LENSAINDONESIA.com: Ketua Umum Serikat Kerakyatan Indonesia (SAKTI), Standarkiaa Latief menilai pengelolahan sumber daya ekonomi nasional khususnya Migas dalam lima tahun terkahir ini yang merupakan sumber APBN terbesar setelah pajak, tidak memberikan dampak signifikan bagi perbaikan kesejahteraan rakyat di tanah air.
Padahal, tata kelola ekonomi Negara ini dikendalikan Menko Perekonomian Hatta Radjasa, yang kini menjadi Cawapres pasangan Capres Prabowo Subianto.
Baca juga: Debat Capres. Tantowi Yahya: Prabowo sudah di atas angin dan Usai Debat Capres, kedua kubu klaim jagoannya raih hasil positif
Standarkiaa Latief membeberkan bukti pengelolaan sumber daya ekonomi tidak berdampak signifikan terhadap kesejahteraan rakyat itu, di antaranya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) selalu naik. “Progress malah menunjukkan semakin mempersulit dan melemahkan daya beli di masyarakat,” katanya kepada Licom di Jakarta, hari ini (25/4/14).
Menurut Standarkiaa, apa yang sesungguhnya terjadi dalam tata kelola Migas di Indonesia, menguatkan sinyalemen berkembangnya kejahatan mafia Migas yang selama ini
tidak tersentuh hukum di dalam negeri. “Lantas, bagaimana tanggungjawab Menko Perekonomian?”, tandas Standarkiaa kembali mempertanyakan kemampuan Hatta Radjasa sebagai
Cawapres.
Dia menyayangkan dinamika politik nasional menjelang Pilpres seolah terhegemoni kuatnya pemberitaan “pertarungan” opini dua pasangan Capres Cawapres yang merebut
sebanyak-banyaknya suara pemilih (konstituen) pada 9 juli 2014. Eskalasi isu-isu ekonomi politik sosial dan budaya (Ekopol Sosbud) menjadi tereduksi oleh retorika
Pilpres yang terangkum dalam isu nasional debat Capres.
“Tema yang disajikan dalam debat tersebut, sesungguhnya lebih merupakan rangkuman isu yang dikemas dalam konsep visi misi konteks Ekopol Sosbud tadi,” jelas
Standarkiaa. Apresiasi terhadap kedua Capres yang muncul dalam debat bergemana dimana pun.
“Namun sangat disayangkan dalam agenda “adu paparan” konsep terkait isu-isu ekonomi di tanah air, kedua pasanan belum secara terbuka dan berani mengemukakan isu Migas dan pertambangan mineral yang merupakan sumber ekonomi strategis negara,” katanya. Padahal, tambah dia, “Sumber ekonomi itu menjadi salah satu andalan pendapatan nasional yang cukup signifikan dalam tata kelola ekonomi negara.”
Standarkiaa mempertanyakan kesungguhan KPU menyelenggarakan debat calon pemimpin negara, tanpa menyinggung secara mendalam asset negara sektor Migas. Padahal, persoalan Migas sejak 2011-2013 merupakan sektor penyumbang APBN terbesar setelah sektor pajak, yaitu berkisar USD 32 Milliar–USD 35 Milliar pertahun. Bahkan, kontribusi bersumber dari pertambangan mineral untuk APBN juga mencapai Rp398,4 Triliun pada periode Tahun Anggaran 2013.
“Pertanyaan besar tentu kita tujukan kepada KPU sebagai penyelenggara debat Capres Awapres. Ada apa sebenarnya tidak mengagendakan isu Migas dalam materi debat? Kenapa dua pihak kandidat presiden dan wakil presiden tidak mempersoalkan hal tersebut. Padahal, isu Migas bagian sangat penting dalam pembaharuan dan perubahan bagi tata kelola kehidupan ekonomi Indonesia ke depan yang lebih baik,” tegas Ketua SAKTI ini, mengritisi.
Pertimbangan itu, tegas Standarkiaa, bahwa SAKTI (Serikat Kerakyatan Indonesia) mendesak KPU sebagai penyelenggara Pemilu agar mutlak memasukan agenda isu-isu strategis dalam debat Capres maupun Cawapres selanjutnya. Mengingat, debat Capres Cawapres masih dua agenda lagi. Dan, debat ke Capres cawapres ke V pada 5 Juli 2014 mengangkat tema Enargi, Pangan dan Lingkungan. SAKTI berharap agar KPU memasukkan isu, antara lain;
Pertama;
Debat Capres/Cawapres harus mengagendakan materi Migas dengan segala persoalan yang muncul dalam tata kelolanya, termasuk kuatnya dugaan dan atau indikasi kuat
dominasi mafia yang mencengkram dunia Migas Indonesia. Berapa besar kebocoran/korupsi yang terjadi di sektor tersebut, dan seterusnya.
Kedua;
Debat Capres/Cawapres harus membuka ruang paparan kejahatan-kejahatan konspiratif yang yang selalu muncul dari dalam sistem kekuasaan Negara. Hal ini sangat penting
bagi terciptanya pencerahan pencerdasan pendidikan politik masyarakat luas, sehingga bisa menjadi pijakan kontrol atas kepemimpinan nasional baru yang lahir dari Pilpres 2014 ini.
Ketiga;
Dalam agenda debat berikutnya, sejatinya KPU juga harus memasukan materi tentang ketegasan kepemimpinan nasional dalam hal mengelola kebhinekaan (pluralisme) yang ada di masyarakat. Negara harus cekatan dan bijaksana dalam pengelolaan konflik sosial, sehingga tidak terjadi pembiaran sebagaimana yang terbaca selama ini terhadap sikap kepemimpinan nasional yang berjalan. @agus/rls
0 comments:
Post a Comment