Wednesday, April 30, 2014

Pemimpin Indonesia pengganti Presiden SBY harus prioritaskan HAM

Pemimpin Indonesia pengganti Presiden SBY harus prioritaskan HAM




LENSAINDONESIA.COM: Satu dekade pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ditandai hanya kemajuan sporadik akan hak asasi manusia. Pemimpin Indonesia selanjutnya harus segera menangani pelanggaran HAM yang masih berlangsung dan mencabut produk hukum yang represif dan diskriminatif, menurut Amnesty International hari ini dalam agenda HAM-nya untuk para kandidat presiden Indonesia.


Sementara masa kampanye untuk pemilu presiden pada Juli 2014 sedang akan berlangsung, agenda HAM ini mencakup delapan isu HAM kunci yang harus ditangani pemerintahan selanjutnya.


Baca juga: 20 elemen buruh Jatim dukung Capres Jokowi dan Kapolda Jatim minta Gubernur mau terima perwakilan buruh saat May Day


“Sungguh mengecewakan bahwa selama masa kampanye, para calon-calon presiden sebagian besar sejauh ini mengabaikan masalah HAM. Indonesia menjalani perjalanan jauh selama satu dekade, tetapi masih ada tantangan serius yang harus direspon para kandidat tersebut,” tegas Rupert Abbott, Deputi Direktur Asia Pasifik Amnesty International dalam keterangan persnya kepada Licom, pekan ini.


Menurutnya, ada beberapa kemajuan HAM selama masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014), termasuk memperkenalkan peraturan-peraturan HAM tentang pemolisian dan juga reformasi legal yang memperkuat perlindungan saksi.


Indonesia juga memainkan peran yang penting dalam pembentukan Komisi Inter-Pemerintahan HAM ASEAN (ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights, AICHR), sebuah badan yang bisa memainkan peran yang kuat dalam menegakan standard-standar HAM di sepanjang wilayah tersebut.


Namun demikian, pelanggaran HAM serius masih berlanjut–mulai dari pengekangan kebebasan berekspresi dan penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya oleh aparat keamanan, hingga ke masalah impunitas yang nyaris penuh atas kejahatan di bawah hukum internasional yang dilakukan selama era Suharto dan periode reformasi yang menyusulnya. Lebih lanjut, eksekusi hukuman mati dilanjutkan di Indonesia pada 2013 setelah empat tahun tidak dilakukan.


Meskipun Indonesia menandatangani berbagai konvensi internasional penting yang menjamin perlindungan HAM, di hampir semua kasus mereka belum dimasukan ke dalam undang-undang atau produk hukum domestik, atau diimplementasikan dalam kebijakan dan praktik.


“Presiden Indonesia selanjutnya harus bekerja melebihi janji-janji di atas kertas dan memastikan bahwa realitas sehari-hari di negeri ini sesuai dengan komitmen internasional yang begitu besar,” ujar Ruppert Abbott.


“Selama satu dekade terakhir telah ditandai hanya dengan kemajuan HAM sporadik, dan bahkan ada kemunduran di berbagai bidang.”


Secara khusus, kebebasan berekspresi mengalami kemunduran di tahun-tahun belakangan ini, dan Presiden Indonesia selanjutnya harus bekerja untuk mengubah atau mencabut produk-produk legislasi yang digunakan untuk kriminalisasi aktivitas-aktivitas politik damai.


Lebih dari 70 orang, sebagian besar adalah para aktivis dari provinsi-provinsi bagian timur di Papua dan Maluku, saat ini dipenjara atas “makar” karena terlibat dalam protes politik damai atau mengibarkan bendera-bendera pro-kemerdekaan yang dilarang. Sebuah peraturan di tahun 2007 melarang bendera “separatis” menyebabkan banyak penangkapan.


Lebih lanjut, serangan dan gangguan terhadap para minoritas agama juga meningkat di bawah pemerintahan Presiden Yudhoyono, diperparah produk-produk hukum baik di tingkat daerah maupun nasional.


Komunitas minoritas Ahmadiyah dilarang mempromosikan aktivitas-aktivitas dan ajaran-ajaran mereka di banyak daerah di Indonesia. Kelompok ini menjadi target kekerasan berulang kali di sepanjang negeri ini pada tahun-tahun belakangan ini, dan ada laporan-laporan terpercaya menunjukan bahwa pejabat pemerintahan lokal kadang-kadang bersekutu dengan kelompok-kelompok agama garis keras untuk mengancam atau mengganggu anggota-anggota Ahmadiyah untuk tidak mengakui kepercayaan mereka.


“Sejauh undang-undang diskriminatif terhadap minoritas agama masih berlaku, kekerasan dan gangguan yang dihadapi kelompok-kelompok seperti Ahmadiyah secara efektif merupakan tindakan yang direstui Negara. Pemerintahan yang baru harus secara mendesak bekerja untuk mencabut semua produk hukum yang mengancam kebebasan beragama dan berekspresi,” kata Rupert Abbott.


Perempuan dan anak-anak perempuan menghadapi hambatan-hambatan dalam menjalankan hak-hak mereka, dan ada undang-undang dan peraturan-peraturan yang mendiskriminasi perempuan. Pemerintah juga gagal melarang dan mengambil tindakan yang efektif dan memadai untuk menghapus praktek-praktek yang merugikan perempuan dan anak-anak perempuan, seperti mutilasi kelamin perempuan, termasuk menyediakan hukuman pidana yang memadai bagi mereka yang melakukan tindakan-tindakan seperti itu. @licom


alexa ComScore Quantcast

Google Analytics NOscript

0 comments:

Post a Comment