Sunday, April 27, 2014

WNI di Australia ngeri manifesto Gerindra bisa ulang otoriter Orba

WNI di Australia ngeri manifesto Gerindra bisa ulang otoriter Orba




LENSAINDONESIA.COM: Kecaman atas Manifesto Perjuangan Partai Gerindra terus berlanjut. Kali ini, datang dari masyarakat Indonesia di Australia. “Itu fasisme,” kata Airlangga Pribadi, dalam dialog bertajuk “Menimbang Capres RI 2014” bersama masyarakat Indonesia di Perth, Australia Barat, Sabtu kemarin (26/4/14).


Dosen Ilmu Politik Universitas Airlangga itu merujuk kalimat di manifesto Partai Gerindra yang menyebutkan, “…negara dituntut untuk menjamin kemurnian ajaran agama yang diakui oleh negara dari segala bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama.”


Baca juga: PAN siap padukan Prabowo-Hatta layaknya Soekarno-Hatta dan Gerindra buka koalisi dengan PDIP


Airlangga menduga bahwa itu memang bagian dari strategi politik Gerindra. Setelah cukup lama menyasar isu-isu nasionalisme seperti kemandirian dan kedaulatan, dan ketika konstituen politik mereka sudah loyal, Gerindra memberi sinyal kepada kaum fanatik (Islam) untuk bergabung.


Padahal, lanjut Airlangga, apabila kalangan elite menjadikan rasa aman, kebebasan, dan hak berkeyakinan sebagai permainan dalam transaksi politik, implikasinya bisa sangat berbahaya bagi perjalanan demokrasi Indonesia. Kemungkinan terbesar adalah munculnya pembenaran ideologis, bahkan yuridis, pada tindakan-tindakan yang lebih mengerikan bagi hak-hak sipil setiap warga negara.


“Jika Prabowo berkuasa, intoleransi akan semakin terinkorporasi di dalam elemen negara. Negara akan menentukan mana keyakinan yang benar dan mana yang salah. Ini mengerikan sekali,” imbuh kandidat Ph.D. di Murdoch University ini.


Pernyataan Airlangga diamini pembicara lain, Irwansyah Jemi, yang juga calon doktor di Murdoch University. Irwansyah menyatakan bahwa pemurnian agama jelas bukan agenda politik yang bijaksana dan menghormati HAM. Implikasi agenda semacam ini adalah penggunaan kekerasan dan pembiaran kekerasan oleh negara atas begitu banyak kombinasi agama yang dianggap tidak murni.


“Otoriterisme negara ala Orde Baru akan hadir lagi. Jangan lupa, apa pun yang tidak murni dan konsekuen menurut Orde Baru diganjar dengan intimidasi, hingga pembantaian massa,” tegas dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia ini, mengingatkan.


Kekhawatiran yang lebih jauh lagi muncul dari Iqbal Aji Daryono, salah satu peserta dialog. WNI di Australia, kata pria yang sehari-hari berprofesi sebagai sopir truk ini, sangat banyak yang merupakan pelarian akibat kerusuhan Mei 1998. Sebagai kalangan minoritas, kaum eksil tersebut punya trauma mendalam atas perlakuan kelompok mayoritas di Indonesia.


“Apabila Prabowo berkuasa dan menjalankan langkah-langkah politik sesuai manifesto Gerindra, patut diduga ia hanya akan mengakomodasi hak-hak mayoritas, dan meletakkan kalangan minoritas sebagai warga kelas dua. Kondisi tersebut jelas akan semakin memupus keinginan para pelarian tersebut untuk kembali ke tanah air.” Artinya, Iqbal dan para pelarian Kerusuhan 1998 sangat trauma jika Prabowo nantinya jadi presiden. @din/li


alexa ComScore Quantcast

Google Analytics NOscript

0 comments:

Post a Comment