LENSAINDONESIA.COM: Pembebasan bersyarat terpidana pembunuhan aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib, Pollycarpus Budihari Prijanto dinilai telah merusak rasa keadilan publik dan demokratisasi di Indonesia.
Sekretaris Ekskutif Komite aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum), Choirul Anam menegaskan, pembebasan bersyarat bagi Pollycarpus ini juga mencederai keadilan bagi korban dan sahabat Munir.
Baca juga: Menkum HAM: Bebas bersyarat Pollycarpus sesuai aturuan yang ada dan Pollycarpus bebas! Tinggalkan Lapas Sukamiskin tanpa pengawalan
“Pembebasan bersayarat ini menjadi kado pertama untuk Jokowi atas komitmennya terhadap HAM, seberapa berani dan berkomitmen Jokowi atas HAM. Bebas bersyarat untuk Polly mencermikan Jokowi gagal mengkonsolidasi aparaturnya untuk konsisten terhadap HAM,” tegas Anam di Jakarta, Sabtu (29/11/2014).
Menurut Anam, bebas bersyarat terhadap Polly ini menjadi pertanda buruk bagi pemerintahan Jokowi dan awal dari kegagalan berkomitmen untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM. Karena itu Jokowi diminta segera membatalkan pembebasan bersyarat untuk Pollycarpus.
“Kasum meminta Jokowi untuk mengevalusi pembebasan bersyarat tersebut, membatalkannya dan menghentikan semua proses pemberian remisi untuk kedepannya. Langkah Jokowi harusnya membuka kembali kasus Munir bukan malah memberikan pembebasan bersyarat pada Polly,” kata Anam.
Anam paham bahwa Pollycarpus memiliki hak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat. Namun, menurutnya, hak itu tidak bisa diberlakukan untuk pelaku kejahatan serius atau kejahatan berat HAM. Bahkan Anam menuding ada oknum kekuasaan yang berada di belakang Pollycarpus.
“Karena kejahatan tersebut dilakukan tidak atas kehendak sendiri, namun atas penyalahgunaan kewenangan, kekuasaan dan fasilitas negara,” tuding Anam. “Polycarpus terbukti menjadi bagian yang menggunakan kewenangan dan kekuasaan BIN dalam melakukan pembunuhan cak Munir,” ucap Anam.
Sebelumnya, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fadli Zon menyoroti pembebasan bersyarat Pollycarpus. Menurutnya, apabila pembebasan bersyarat itu sarat akan intervensi, hal itu harus dikaji ulang. “Kalau ada intervensi, dan dibebaskan, maka harus dikaji ulang,” kata Fadli di Jakarta, Sabtu (29/11/2014).
Fadli mengingatkan bahwa pembebasan bersyarat harus menuruti aturan perundangan yang berlaku. Pembebasan bersyarat bisa diberikan kepada narapidana yang telah menjalani hukuman sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya minimal 9 bulan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 16 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Pasal 14, 22, dan 29 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Fadli menuturkan, apabila sudah sesuai aturan, pembebasan memang sudah menjadi hak narapidana.
Diketahui, Pollycarpus Budihari Prijanto mendapat pembebasan bersyarat dengan Surat Keputusan (SK) PB Polly sudah ditetapkan Menteri Hukum dan HAM RI sejak 13 November 2014 setelah dianggap menjalani 2/3 masa tahanan atau menjalani 8 tahun hukuman dari vonis 14 tahun yang dijatuhkan Mahkamah Agung.@ridwan_LICOM/kom
0 comments:
Post a Comment