LENSAINDONESIA.COM: Para politisi di Dewan Perwakilan daerah (DPD) DPR RI kembali berteriak, dan membeberkan bahwa selama ini para politisi di DPR dan pemerintah sengaja mengebiri peran Dewan Perwakilan Daerah sebagai wakil rakyat mendampingi peran DPR di Senayan. Bahkan, ada kesan politisi DPR sengaja “mengadali” rakyat Indonesia soal DPD yang dipilih saat Pileg dengan dana rakyat.
Hal itu dibuktikan Koordinator Tim Litigasi DPD DPR RI I Wayan Sudirta dengan mempertanyakan soal perubahan Undang-Undang Nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dilakukan tanpa melakukan perubahan terhadap subtansi pasal-pasal terkait dengan
DPD.
Baca juga: Caleg DPD kecewa dipandangan sebelah mata KPU dan Calon Dewan Perwakilan Daerah galau kampanye dicueki masyarakat
“Sebagai anggota yang memperjuangkan peran DPD sejak UU Susduk (UU Nomor 22 tahun 2003) hingga UU MD3 (UU Nomor 27 tahun 2009), ternyata tidak berbanding lurus dengan rumusan yang ada dalam
revisi UU MD3 tersebut,” kata I Wayan Sudirta, Bukit tinggi, kemarin (23/05/2014).
Selain itu, I Wayan Sudirta revisi yang dilakukan DPR, hanyalah bersifat parsial semata, terutama untuk memperkuat nafsu DPR dan beberapa tugas MPR. Hal ini dapat dilacak dari penjelasan umum dari revisi RUU MD3. Faktanya, sebagai berikut;
1.Sejak Undang-undang Nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD diundangkan masih terdapat beberapa hal yang dipandang perlu ditata kembali.
2. Penataan dilakukan dalam rangka penguatan nilai demokrasi pada MPR melalui penataan pimpinan MPR dengan ketentuan bahwa calon pimpinan MPR berasal dari Anggota tanpa membagi porsi DPR dan DPD
3. MPR diberi tugas lain yakni menyelenggarakan sidang setiap tahun (Sidang tahun MPR)
4. DPR ditata kembali terkait alat kelengkapan mekanisme pembentukan undang-undang, dan sistem penduduk baik seketariat jendral maupun badan fungsional keahlian.
“Dari sisi subtasi, sebenarnya pasca putusan MK perkara nomor 92/PUU-X/2012 perihal pengujian UU MD3 dan UU P3, revisi terhadap UU MD3 ini penting untuk mendudukkan dan menata kembali sistem keparlemenan Indonesia terutama mekanisme hubungan kerja antara
DPR dan DPD,” tandasnya.
Namun, kenyataan revisi yang dilakukan DPR sebagai amanah keputusan MK “jauh panggang daripada api” alias revisi “abal-abal”. Mengapa hal ini terjadi? Ada beberapa hal yang dikaji dalam hal ini.
“Putusan MK perkara Nomor 92/PUU-X/20012 dirasakan oleh DPR mengurangi kewenangan mereka dalam membahas RUU, ini dapat dilihat dari dua hal. Pertama, menyangkut mekanisme pembahasan tiga pihak (Tripartit). Kedua, menyangkut kedudukan fraksi-fraksi dalam pembahasan RUU,” pungkasnya. @endang
0 comments:
Post a Comment