LENSAINDONESIA.COM: Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) menegaskan, sesungguhnya merupakan kewajiban pemerintah untuk menyediakan akses masyarakat untuk dapat memperoleh permukiman yang layak huni, aman, nyaman, damai, sejahtera, berbudaya, dan berkeadilan sosial.
Pasalnya, jika pemerintahan Jokowi-JK nantinya tidak memprioritaskan itu, masalah meledaknya jumlah masyarakat Indonesia yang tidak memiliki rumah akan semakin sulit diatasi. Problem ini seiring dengan bertambahnya jumlah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang merata di seluruh Indonesia.
Baca juga: SDA "harga mati" golkan Djan sponsor Jokowi Nyagub rebut Ketum PPP dan Tiga kepala daerah ini pantas masuk kabinet Jokowi-JK
“Itu memang merupakan kewajiban pemerintah terhadap warga negaranya,” jelas Ketua DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) Eddy Ganefo, Jakarta, Senin (29/9/14).
Diketahui, jumlah masyaraakat Indonesia yang tidak memiliki rumah atau rumah layak huni diprediksi akan mencapai 60 juta jiwa.
APERSI memahami bahwa pemerintah memang tidak muda untuk memenuhi tuntutan hajat hidup rakyat Indonesia itu. Sebab, ada hambatan teknis dan non teknis yang merupakan kendala utama dan menuntut lebih dulu harus diselesaikan.
Eddy mengakui, pemerintah selama ini dalam posisi yang sulit, karena di sisi lain program pembangunan perumahan rakyat merupakan prioritas. “Padahal, ini salah satu program utama pemerintah,” katanya.
Menurutnya, ada tujuh hambatan yang harus diperhatikan pemerintahan Jokowi-JK, agar persoalan krusial rakyat Indonesia tidak semakin meberatkan di masa mendatang. Berikut rinciannya;
1. Keterbatasan lahan untuk pembangunan perumahan bagi MBR.
2. Hambatan hukum dan peraturan perundang-undangan.
3. Hambatan yang datang dari pengembang. “Dimana manajemen kebijakan pengembangan perumahan cenderung berorientasi pada pembangunan rumah komersil yang dapat mengeliminasi hak MBR,” tukas Eddy menyontohkan.
4. Hambatan politik yakni, kurangnya komitmen pemerintah pusat dan daerah dalam merumuskan kebijakan pengembangan perumahan untuk MBR.
5. Hambatan distributif, dimana aksesbilitas MBR ke pasar perumahan masih sangat terbatas.
6. Hambatan dana. “Yakni skema pembiayaan perumahan belum efektif menyentuh persoalan dalam usaha membuka akses MBR untuk memiliki rumah,” jelas Eddy.
7. Hambatan Sumber Daya Manusia (SDM) dimana pemegang kebijakan perumahan rakyat tidak menjiwai ruh dari perumahan untuk rakyat.
Praktis, poin terakhir mengindikasikan Indonesia membutuhkan figur menteri perumahan rakyat yang punya integritas dan memiliki suasana kebatinan menyelami nasib 60juta rakyat yang nelangsa akibat tak punya rumah atau tak menghuni rumah layak huni. @yuanto
0 comments:
Post a Comment