LENSAINDONESIA.COM: Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia, Said Salahudin menilai ada sejumlah kekeliruan pada frasa di dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 9 Tahun 2015 tentang Pencalonan Pilkada. Oleh karena itu, KPU disarankan untuk merevisi PKPU untuk mencegah implikasi hukum di masa datang.
“Ada sejumlah kekeliruan dalam Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Pencalonan Pilkada. Dua diantaranya terdapat didalam Pasal 36 yang mengatur tentang pendaftaran pasangan calon oleh partai politik yang sedang mengalami perselisihan kepengurusan,” ujar Said kepada Licom di Jakarta, Rabu (27/5/2015).
Baca juga: Pilkada serentak! Jangan serahkan daerah dikelola figur 'makelar', Bro dan Pilkada di 15 daerah terancam ditunda hingga 2017
“Didalam Pasal 36 ayat (2) dinyatakan “Apabila … terdapat penetapan pengadilan mengenai penundaan pemberlakuan keputusan Menteri …”. Penggunaan kata ‘pemberlakuan’ dalam frasa tersebut jelas keliru. Seharusnya yang benar adalah ‘pelaksanaan’, bukan ‘pemberlakuan,” terang Said menekankan.
Dalam hukum tata usaha negara kita, menurut Said, tidak pernah dikenal adanya Penetapan pengadilan mengenai “penundaan pemberlakuan” Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Dia menegaskan, yang ada adalah Penetapan mengenai “penundaan pelaksanaan” KTUN.
“Mungkin KPU bermaksud mempersamakan “penundaan pemberlakuan” dengan “penundaan pelaksanaan”. Tetapi keduanya jelas punya makna yang berbeda. Penetapan “penundaan pelaksanaan” KTUN oleh pengadilan punya implikasi hukum yang lebih luas,” jelas pemerhati pemilu ini.
Said yang juga pakar hukum ini menjelaskan,Penetapan penundaan pelaksanaan KTUN oleh pengadilan tidak sekedar menimbulkan konsekuensi terhentinya pemberlakuan atau daya laku (gelding) dari KTUN bersangkutan. Namun, juga menyebabkan pengembalian keadaan hukum ke posisi semula (restitutio in integrum) sebelum KTUN dimaksud disengketakan.
“Jadi untuk menghindari permasalahan hukum saya sarankan agar KPU segera merevisi Peraturannya itu. Dikhawatirkan, pihak yang merasa terpojok dengan adanya Penetapan “Penundaan Pelaksanaan” Keputusan Menkumham akan memanfaatkan dan berlindung dibalik kekeliruan KPU tersebut. Mereka bisa menegasikan adanya fakta hukum tentang Penetapan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Menkumham dimaksud,” saran Said pada KPU.
Kekeliruan yang kedua, kata Said, terdapat didalam Pasal 36 ayat (3) terkait keharusan bagi menteri (Menkumham) untuk menerbitkan keputusan tentang penetapan kepengurusan partai politik hasil kesepakaran perdamaian.
“Ketentuan itu mengandung dua persoalan. Pertama, keliru jiika KPU mengatur lembaga dari cabang kekuasaan yang lain didalam peraturannya. Itu diluar yurisdiksi mereka. Dengan mengatur menteri, itu sama saja KPU sedang mengatur Presiden. Sebab menteri itu pelaksana kekuasaan Presiden,” tuturnya.
“Kedua, pengaturan KPU agar menteri menerbitkan keputusan tentang penetapan kepengurusan partai politik hasil kesepakaran perdamaian menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, kalau Menkumham menerbitkan keputusan seperti yang diminta oleh KPU, maka nantinya akan ada dua keputusan menteri, yaitu; Keputusan awal Menkumham yang mengesahkan kepengurusan Agung Laksono di Partai Golkar dan kepengurusan Romahurmuziy di PPP; dan Keputusan Menkumham yang mengesahkan kepengurusan Partai Golkar dan PPP hasil kesepakatan perdamaian,” sambung Said.
Siad pun menegaskan, dua Keputusan Menteri itu justru menciptakan ketidakpastian hukum.
“Bagaimana mungkin ada dua keputusan dari pejabat yang sama untuk persoalan yang sama, tetapi isinya berbeda?” pungkas Said. @yuanto
0 comments:
Post a Comment