Saturday, March 28, 2015

Pemerintah naikkan BBM dikritik tidak hormati putusan MK

Pemerintah naikkan BBM dikritik tidak hormati putusan MK




LENSAINDONESIA.COM: Ketua Umum Forum Solidaritas Masyarakat Peduli Migas (Fortas-MPM) Teddy Syamsuri mengingatkan, Pemerintah Jokowi-JK agar menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 002/PUU-I/2003 tertanggal 15 Desember 2004. Sehingga, kebijakan menaikan harga BBM tidak mengabaikan khususnya hajat hidup rakyat miskin.


Putusan MK Nomor 002/PUU-I/2003 itu menyatakan Pasal 28 ayat (2) dan (3) UU Migas No 22 Tahun 2001, berbunyi harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan harga Gas Bumi (LPG) diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar, dan pelaksanaan kebijaksanaan harga tidak mengurangi tanggungjawab sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu, diputuskan bertentangan dengan UUD 1945.


Baca juga: Gubernur Jatim minta Presiden Jokowi buat patokan harga BBM dan Jokowi minta semua harga turun, premium jadi Rp6.600 dan solar Rp6.400


“Kendala yang dihadapi masyarakat dengan pendapatan golongan menengah ke bawah adalah kemampuan daya beli tunai yang masih rendah. Karena itu, sebagaimana amanat konstitusi, Pemerintah memiliki peran untuk tetap melindungi kesejahteraan dan tingkat hidup yang layak bagi setiap warga negara,” kata Teddy dalam surat elektroniknya kepada LICOM, Jakarta , Sabtu (28/3/15).


“Agar hak bagi setiap warga negara dapat terpenuhi, perlu suatu kebijakan Pemerintah untuk melindungi warga negara berpenghasilan rendah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya,” tambahnya, mengingatkan.


Sekalipun data Badan Pusat Statistik (BPS), 5 Februari 2015, menyebutkan pendapatan perkapita 2014 mengalami kenaikan sekitar Rp 3,53 juta atau sebesar Rp38,28 juta per tahun. Menurut Teddy, dampak kenaikan harga BBM tetap saja akan menurunkan daya beli masyarakat, dan penurunan daya beli itu membuat rakyat hampir miskin menjadi miskin.


“Sebenarnya konsumsi domestik, investasi, dan ekspor adalah masa depan ekonomi Indonesia. Peningkatan daya beli masyarakat oleh besarnya pengeluaran konsumsi rumah tangga menjadi penting. Sebab itu, Pemerintah harus hati-hati ketika menaikkan BBM, karena dampaknya bersifat langsung terhadap beban masyarakat, sehingga berpengaruh terhadap turunnya daya beli,” tegasnya.


Dia kembali mengingatkan, paket-paket kebijakan ekonomi yang dirancang Pemerintah sebaiknya harus terimplikasi langsung kepada penguatan struktur ekonomi nasional, yaitu berdampak langsung terhadap peningkatan produksi,ekspor dan konsumsi. “Upaya ini diperlukan untuk menjaga agar dampak ikutannya diharapkan tidak menyebabkan daya beli masyarakat turun, karena mereka harus tetap dapat bekerja dan tingkat pendapatannya tidak tergerus.”


Kebijakan yang bersifat komprehensif, lanjutnya, menjadi penting dan jauh lebih bermanfaat bila dibanding dengan mengeluarkan kebijakan bersifat parsial. Secara faktual, potensi meningkatnya angka kemiskinan akibat kenaikan harga BBM akan berdampak buruk, sekaligus terhadap ketiga dimensi yang mendasari pembangunan manusia, yakni melemahnya daya beli, pendidikan, dan kesehatan. Sehingga, menurunkan kemampuan riil untuk membiayai pendidikan dan kesehatan.


Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres), menurutnya, sudah menilai ekonomi Indonesia memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang. Salah satu andalan Indonesia adalah sumber daya alam, pasar yang besar dan sumber daya manusia. Tapi, kata Teddy lagi, daya saing internasional rendah, infrastruktur buruk, perizinan tidak baik.


“Adanya kebijakan Pemerintah kembali menaikkan harga BBM jenis premium dan solar Rp 500/liter pada 28 Maret 2015, potensi untuk tumbuh dan berkembang menjadi sulit dicapai,” kata pemerhati Migas ini, pesimistis.


Dia juga mengritisi, latar belakang kebijakan menaikan harga BBM berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 39 Tahun 2014 Tentang Perhitungan Harga Jual Eceran BBM, yang diubah dengan Permen ESDM Nomor 4 Tahun 2015, dengan alasan meningkatnya rata-rata harga minyak dunia dan masih berfluktuasi serta melemahnya nilai tukar rupiah dalam satu bulan terakhir, maka Harga Jual Eceran BBM secara umum perlu dinaikkan, demi menjaga kestabilan perekonomian nasional serta untuk menjamin penyediaan BBM Nasional.


“Alasan kebijakan Pemerintah tentang kenaikan harga BBM tersebut justru mengesampingkan putusan MK,” tandasnya. Tentunya, yang mengundang tanda tanya kenapa keputusan kenaikkan harga BBM tersebut diumumkan saat Presiden Jokowi sedang melakukan lawatan ke luar negeri. Benarkah Wakil Presiden Jusuf Kalla adalah yang paling bertanggungjawab terhadap kebijakan kenaikan harga BBM, kali ini, lantaran perannya sangat dominan terkait kebijakan ini.


Jika mengacu butir ke-7 visi Nawacita Presiden Jokowi, kata dia, yang ingin mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik, tentunya bukan dengan mengadopsi bangunan ekonomi liberal, tetapi dengan ekonomi konstitusi.


“Bangunlah ekonomi konstitusi, bukan bangunan ekonomi liberalisasi”, pungkas Teddy, yang juga Direktur Kominfo Gerakan Nasionalisasi Migas (GNM). @licom_09


alexa ComScore Quantcast

Google Analytics NOscript

0 comments:

Post a Comment