LENSAINDONESIA.COM:Salah satu program Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)dalam 6 Program Aksi Transformasi Bangsa Partai Gerindra adalah membangun infrastuktur dan menjaga kelestarian alam serta lingkungan hidup. Salah satu butir dalam program tersebut adalah melaksanakan reboisasi 77 juta hektar hutan yang sudah rusak dengan sistem tumpang-sari penanaman bambu, jabon, sengon, sagu, bakau dan tanaman lain serta konservasi aneka ragam hayati, hutan lindung, taman nasional, dan suaka alam.
Ketua Umum Partai Gerindra, Prof. Dr. Suhardi mengatakan bahwa sebenarnya upaya-upaya rehabilitasi dan reboisasi hutan yang rusak telah dilakukan sejak tahun 1990-an melalui Kredit Usaha Rakyat, Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Perhutani, dan terakhir program Hutan Tanaman Rakyat (HTR) Departemen Kehutanan dan Perkebunan.
Baca juga: Cendikiawan tertarik gagasan Prabowo dalam bidang akademis dan Meski dilarang, kader & simpatisan Gerindra padati alun-alun Magelang
“Semua upaya tersebut belum mampu menjawab kerusakan yang ada. Indonesia kini masih memiliki sekurang-kurangnya 77 juta Ha hutan yang rusak.”ungkapnya kepada wartawan Rabu (2/4/14).
Berdasarkan penelitian World Bank, tingkat kerusakan hutan di Indonesia setiap tahun terjadi sekitar 700.000 – 1.200.000 Ha. Bahkan menurut LSM lokal laju kerusakan itu mencapai 2 juta – 3 juta Ha pertahun. Akibat langsung dari kerusakan itu antara lain hilangnya biodiversitas, hilangnya ketersedian air tanah, hilangnya sumber kehidupan sebagian masyarakat yang tinggal di daerah hutan, menimbulkan iklim ekstrim seperti pemanasan global, meningkatkan abrasi pantai, dan sebagainya.
“Penyebab kerusakan hutan di tanah air antara lain karena illegal logging, pembakaran lahan, perambahan hutan, perladangan berpindah, pertambangan, transmigrasi, pemukiman penduduk, perkebunan monokultur, penggembalaan ternak, serangan hama dan penyakit, dan lain-lain.” jelas Suhardi.
Menurut Prof. Suhardi, untuk meningkatkan partisipasi dan tanggung jawab masyarakat terhadap rehabilitasi hutan yang rusak, maka pola rehabilitasi yang perlu dikembangkan adalah pola yang langsung berkaitan dengan hajat hidup masyarakat di kawasan hutan.
Suhardi menyampaikan dengan pola ini, maka setiap pengrusakan hutan tersebut berarti merusak hajat hidup mereka. Sedangkan sistem rehabilitasi yang paling sesuai untuk kebutuhan ini adalah sistem tumpangsari yaitu penanaman tanaman keras seperti jabon, sengon, bambu, bakau, atau sagu, yang dipadu dengan komoditi pangan atau atau komoditi dagang. Dengan demikian, ada manfaat di sisi ekonomi juga yang bisa didapatkan dengan sistem ini.
“Perlu diingat pula bahwa saat ini kita mengahadapi ancaman perubahan iklim karena pemanasan global yang salah satunya disebabkan karena berkurangnya hutan sebagai paru-paru dunia. Hutan yang telah rusak harus dihijaukan kembali untuk anak cucu kita di masa depan.” tutup Prof. Suhardi@muhammad
0 comments:
Post a Comment