Friday, March 27, 2015

Ahok “The Right Man on The Right Place” tak bisa digulingkan

Ahok “The Right Man on The Right Place” tak bisa digulingkan




LENSAINDONESIA.COM: Panitia Angket DPRD DKI Jakarta memanggil pakar komunikasi politik Tjipta Lesmana ke Gedung DPRD DKI, Jumat (25/3/15). Pakar komunikasi ini difungsikan sebagai saksi ahli untuk dimintai pendapat terkait pola komunikasi Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).


Karena itu, sejumlah pertanyaan panitia angket diajuan terkait anggapan pelanggaran etika yang dilakukan Gubernur Ahok, yang pada Sabtu lalu (22/3/15) di Museum Nasional, dinisbatkan lensaindonesia.com sebagai figur “The Right Man on The Right Place 2″ sebagai pelaku refovolusi mental birokrasi ini. Ahmad Nawawi dari Fraksi Demokrat-Partai Amanat Nasional FDPAN),’misalnya, pertanyaannya berkutat mengenai masalah etika tersebut.


Baca juga: Malam ini, Ahok revolusi mental birokrasi dapat Awards Lensaindonesia dan Menteri Saleh Husen sebut Jenderal Moeldoko layak dapat Awards LICOM


“Pantaskah dia (Ahok) dipertahankan sebagai gubernur dengan cara komunikasi yang seperti itu?” tanyanya dalam rapat yang berlangsung di ruang Serba Guna.


“Apakah Tap MPR Nomor 6 tahun 2001 yang mengatur etika dan norma pemerintahan, bisa menjadi landasan untuk menjatuhkan (gubernur)?” lanjut anggota panitia angket asal Fraksi Gerindra, Syarif.


Saat diberi kesempatan menjawab, Tjipta menerangkan, pelanggaran etika tidak bisa menjadi landasan memakzulkan gubernur. Apalagi dalam UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), dijelaskan angket bertujuan menyelidiki kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan kepentingan publik.


Sedangkan masalah etika, lanjut Akademisi Universitas Pelita Harapan (UPH) Tangerang ini, tak masuk kategori masalah kebijakan. Artinya, pelanggaran tersebut hanya bisa sebagai faktor penguat.


“Kalau terkait RAPBD (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) 2015, iya. Jelas sekali, itu kebijakan pemerintah. Jadi bisa diangketkan,” kata Tjipta.


Lebih jauh, peraih gelar doktor di bidang komunikasi dari Universitas Indonesia ini menerangkan, pelanggaran etika tak bisa diganjar sanksi hukum. Alasannya, tiap kelompok masyarakat memiliki etika yang berbeda-beda.


Moral, imbuhnya, pun jauh lebih tinggi kedudukannya dibanding etika, karena bersifat universal. “Karena itu, orang yang melanggar etika tidak bisa dipenjara, tidak bisa dipidana. Tapi, hanya mendapatkan sanksi sosial.”


Mendengar pemaparan tersebut, anggota panitia angket asal Fraksi Hanura, Wahyu Dewanto kemudian bertanya, “Berkaitan dengan komunikasi pejabat publik, solusi untuk Ahok kira-kira bagaimana?”


Tjipta pun menyarankan, sebaiknya dewan memanggil eks Bupati Belitung Timur itu, untuk mengklarifikasi terkait gaya komunikasinya yang terkesan kasar. Ketika diundang, dia meminta Ahok memenuhinya.


Tetapi, jika mantan politikus Golkar dan Gerindra ini menolak memenuhinya, Dewan bisa mempertimbangkan untuk memberikan sanksi. “Panggilan pertama tidak hadir, maka tidak apa-apa, karena ada tiga kali pemanggilan. Bisa dibuka apakah dalam Undang-undang ada sanksinya,” kata Tjipta. @fatah_sidik


alexa ComScore Quantcast

Google Analytics NOscript

0 comments:

Post a Comment