PERSETERUAN Polri dan KPK masih berproses panjang. Menarik mencermati keputusan yang diambil Presiden Jokowi untuk memantik perseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Polri.
Keputusan kontroversial diawali tetap bersikeras mengusulkan nama Komjen Pol Budi Gunawan menjadi calon tunggal Kapolri kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 12 Januari 2015, meski sebelumnya nama Budi Gunawan diberi warna merah oleh KPK ketika Presiden minta saran KPK dan Pusat Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) untuk seleksi calon menteri. Dunia penegakan hukum dan upaya pemberantasan korupsi menuju jurang penghancuran.
Baca juga: "Sampai hari ini, sampai detik ini, saya masih tidak mengerti..." dan Samad dan BW diperiksa hari ini
Kekhawatiran publik terhadap kehancuran dunia penegakan hukum dan upaya pemberantasan korupsi menjadi kenyataan ketika pada 18 Februari 2015, Presiden tetap membuat keputusan kontroversial. Diantaranya: pertama, membatalkan pencalonan tunggal Komjen Pol Budi Gunawan sebagai calon Kapolri dan digantikan Komjen Pol Badrodin Haiti; Kedua, memberhentikan sementara dua Pimpinan KPK yakni, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto yang ditetapkan tersangka oleh Bareskrim Polri.
Ketiga, mengangkat Taufiequrrachman Ruki, Indrianto Seno Adji, dan Johan Budi sebagai Pimpinan Sementara KPK.
Sekilas keputusan itu seperti menurunkan tensi perseteruan KPK dengan Polri yang merebak sejak 13 Januari 2015, atau sehari setelah nama Budi Gunawan diusulkan menjadi calon tunggal Kapolri. Namun, keputusan berbuntut lebih runyam dengan munculnya putusan kontroversial praperadilan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, 16 Februari 2015. Putusannya membuka peluang Komjen Budi Gunawan menjadi Wakapolri, sekaligus lolos dari jeratan hukum terkait kasus dugaan suap atau gratifikasi saat menjabat Kepala Biro Pembinaan Mabes Polri tahun 2003-2006 silam.
Sebab, salah satu isi putusan praperadilan sangat tegas berbunyi: “Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh termohon (KPK) yang berkaitan dengan penatapan tersangka terhadap diri pemohon (Komjen Pol Budi Gunawan) oleh termohon (KPK).
Atas persoalan itu, selaku salah satu Pimpinan Sementara KPK, Taufiequrrachman Ruki, mengusulkan KPK melimpahkan kasus dugaan gratifikasi Budi Gunawan –saat menjabat Kepala Biro Pembinaan Mabes Polri 2003-2006– kepada Kepolisian atau Kejaksaan.
Mekanisme pelimpahan dan pengambilalihan perkara penyidikan maupun penuntutan dari Kepolisian dan Kejaksaan kepada KPK memang diatur Pasal 8, 9, dan 10 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK. Sebaliknya, KPK tidak dapat melimpahkan perkara penyidikan dan penuntutan kepada Kepolisian dan Kejaksaan. Kepolisian beserta Kejaksaan dapat mengambilalih perkara penyidikan dan penuntutan yang dilakukan KPK.
Sehingga, opsi yang tengah diwacanakan Taufiequrrachman Ruki, tentu semakin menambah kacau tatanan hukum. Karena tidak memiliki dasar hukum.
Opsi diwacanakan Ruki, bahwa KPK harus melimpahan kasus Budi Gunawan –terkait dugaan gratifikasi saat menjabat Kepala Biro Pembinaan Mabes Polri (2003-2006)– kepada Kepolisian atau Kejaksaan, maka bukan tidak mungkin Budi Gunawan akan benar-benar lepas dari jeratan hukum. Sebab sebelumnya, Bareskrim juga melakukan penyelidikan kasus dugaan gratifikasi ”rekening gendut” Budi Gunawan. Hasilnya, dinyatakan tidak cukup bukti, sehingga penyelidikannya dihentikan.
Jika kasus ini kembali dilimpahkan ke Kepolisian, maka kemungkinan besar akan kembali dihentikan seperti tahun 2010. Bahkan. opsi untuk melimpahkan kepada Kejaksaan pun tidak akan menjamin kasus Budi Gunawan tidak dihentikan.
Sebab, penyidik Kejaksaan yang notabenya pejabat pegawai sipil tertentu, juga bisa menghentikan proses penyidikan dengan didasarkan Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Pasal 109 Ayat (3). Isinya, menyatakan: “dalam hal penghentian tersebut pada Ayat (2) dilakukan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf b, pemberitahuan mengenai hal itu segera disampaikan kepada Penyidik dan Penuntut Umum”, dan Pasal 6 Ayat (1) huruf b, yang juga menegaskan: “penyidik adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang”. @
0 comments:
Post a Comment