TIDAK bisa dimungkiri, keberadaan perusahaan negara atau badan usaha milik negara (BUMN) adalah salah satu pilar perekonomian bangsa.
Dengan posisi Indonesia sebagai negara yang menganut paham ekonomi semiterbuka, perekonomian nasional tidak terlepas dari pengaruh perekonomian dunia yang berkembang sangat pesat. Konsekuensinya adalah kebijakan pembinaan BUMN senantiasa mengalami penyesuaian mengikuti kondisi dan perkembangan perekonomian nasional.
Baca juga: Jangan biarkan BUMN bertarung tanpa pertolongan Negara dan 31 BUMN digerojok modal negara, Waskita Karya dapat Rp3,5 triliun
Berpijak pada rencana untuk memperluas dan memperkuat jaringan infrastruktur serta mewujudkan swasembada pangan, pemerintah memberikan penyertaan modal negara (PMN) kepada 30 BUMN terpilih. Ini terjadi setelah Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada dua pekan lalu akhirnya menyetujui pemberian PMN sebesar Rp37,276 triliun kepada 27 BUMN pada tahap pertama.
Tahap kedua, tiga BUMN yakni PT PLN (Persero), Perum Jamkrindo, dan Askrindo akhirnya mendapatkan juga dana PMN sejumlah Rp6 triliun. Dengan persetujuan itu, total PMN yang akan diberikan kepada BUMN pada APBN-P 2015 sebesar Rp43,2 triliun kepada 30BUMN.
Dalam tanggapannya, Menteri BUMN Rini Soemarno berjanji, dana sebesar itu di antaranya akan digunakan untuk membangun infrastruktur jalan tol, selain ada juga proyek pembangunan terminal di pelabuhan. Dalam keputusan itu, Komisi VI DPR RI juga memberi sepuluh catatan, baik bagi Kementerian BUMN maupun BUMN penerima PMN.
Dari sepuluh catatan, ada tiga poin utama yang pantas untuk digarisbawahi yakni 1) PMN tidak digunakan untuk membayar utang perusahaan penerima PMN; 2) BUMN penerima PMN harus menerapkan good corporate governance (GCG); 3) Dalam hal pengadaan barang dan jasa dalam menggunakan dana PMN meminta kepada Kementerian BUMN untuk mengutamakan produk dalam negeri dan sinergi antar BUMN. Pertanyaannya, apakah kebijakan PMN BUMN pada 2015 ini strategi pemerintah dalam meningkatkan kinerja BUMN?
Sudut Positif PMN
Banyak beredar pandangan miring terkait PMN ini. Itulah yang akhirnya menimbulkan prasangka negatif ketika pemerintah hendak melakukan PMN. Pertama, PMN selalu dikaitkan dengan BUMN merugi. Munculnya anggapan ini karena dalam praktiknya kita sendiri (pemerintah dan DPR) yang melanggengkan kebiasaan untuk memberikan PMN kepada BUMN merugi.
Seolah olah PMN memang untuk BUMN merugi. Padahal, seharusnya tidak demikian. Bagi BUMN merugi justru seharusnya dilikuidasi atau diambil tindakan lain agar tidak membebani negara. Kedua, seringkali PMN disamakan dengan subsidi. Artinya, bila pemerintah memberikan PMN itu, berarti pemerintah menyubsidi BUMN.
Dalam situasi seperti saat ini, di mana pemerintah baru saja menaikkan harga BBM pada November 2014 (meskipun akhirnya diturunkan lagi), PMN ini akhirnya menjadi isu yang dapat dipolitisasi: pemerintah cabut subsidi untuk rakyat, tetapi menyubsidi BUMN. Politisasi seperti ini tidak sepenuhnya salah karena dalam praktiknya masa lalu, PMN terbukti kurang efektif mendongkrak kinerja BUMN terkait. @bersambung
*Ali Masykur Musa:
-Kini, Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
-Mantan Anggota IV BPK
-Ketua Fraksi PKB DPR RI (2003-2006)
0 comments:
Post a Comment