LENSAINDONESIA.COM: Pakar akutansi dan keuangan, Soemardjijo enggan menuding Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) melakukan maladministrasi terkait anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) 2015 yang dilayangkannya ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
“Jadi begini, saya hanya menjelaskan koridor mengenai hukum, bagaimana membuat RAPBD (rancangan APBD). Saya tidak bisa menilai kebijakan gubernur, saya hanya bicara undang-undang, menyusun APBD DKI,” ujarnya dalam rapat bersama panitia angket di Gedung DPRD DKI, Kebon Sirih, Jumat (27/3/2015).
Baca juga: Ahok "The Right Man on The Right Place" tak bisa digulingkan dan Tjipta Lesmana: Komunikasi Ahok ke bawahan dan publik, buruk
Akademisi Universitas Jayabaya Jakarta ini menerangkan, sikap tersebut diambilnya karena dirinya merupakan dosen, sehingga harus bersikap netral. “Jadi, soal salah atau benar, itu jadi kewenangan legislatif, bukan otoritas saya. Saya enggak punya diskresi untuk menilai.”
Soemardjijo pun enggan memberikan penilai atas pertanyaan anggota panitia angket asal Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP), Syahrial, apakah eksekutif menyalahi prosedur karena menginstruksikan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) mengunci mata kegiatan ke dalam sistem e-budgeting, sebelum pembahasan APBD 2015 berlangsung Gedung DPRD DKI di Kebon Sirih.
Dia hanya memaparkan, bila pembahasan APBD harus dilakukan bersama antara legislatif dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. “Di situ juga ada perdebatan. Kalau sudah diketok, berarti itu RAPBD yang sudah disepakati dan disetujui gubernur dengan DPRD. Kalau soal e-budgeting, hanya teknis, cara saja.”
Tak puas dengan jawaban yang diberikan, Syahrial mencoba mempertegas pertanyaannya kembali dengan merinci kronologi pembahasan APBD. Namun, Soemardjijo lagi-lagi menolak memberikan penilaian dengan mengatakan, “Kalau bapak bertanya soal itu, bapak analisa sendiri. Kan sudah saya beri bukunya tebal. Jadi, saya jangan dibawa ke arus e-budgeting. Itu kan teknis.”
Tak sampai di situ, saat menjawab pertanyaan anggota panitia angket asal Fraksi Demokrat-Partai Amanat Nasional (FDPAN), Ahmad Nawawi, terkait berapa lama sanksi pidana yang dijatuhkan kepada kepala daerah yang terbukti melanggar Pasal 34 UU Keuangan Negara, Soemardjijo juga enggan memberikan pernyataan konkret.
“Saya tidak bisa (menjawabnya), karena enggak punya otoritas untuk menjawab ini, karena tidak bisa seorang dosen harus berdiri di satu pihak. Saya harus netral. Kalau ini, saya beri ke DPRD,” tegasnya.
Meski tak puas dengan jawaban yang diberikan, Nawawi terus bertanya. Kini dia mencoba menyinggung masalah bantuan sosial perusahaan (corporate social responbility/CSR). Apakah program tersebut tergolong kategori sumber penerimaan daerah.
Soemardjijo lantas menjelaskan, sumber pendapatan daerah berasal dari tiga unsur, yakni pajak, dana perimbangan, serta lain-lain yang dianggap sah dan tak mengikat. Untuk memastikan CSR tergolong penerimaan atau bukan, maka harus dibahas dan mendapat kesepakatan bersama terlebih dahulu.
“Kalau dari ilmu yang saya miliki, setiap hal yang berkaitan dengan sumber pendapatan, harus dibicarakan eksekutif dengan legislatif dulu. Kemudian, dilihat sistem akutansi keuangan daerah, ada enggak akunnya. Kalau sudah diketok palu, otomatis masuk sumber pendapatan daerah,” tuturnya.
“Kalau enggak dilaporkan?”, timpal Nawawi. Soemardjijo pun menjawab, “Jangan ditanya ke saya, pak. Itu internal bapak,” dalihnya.
Ketua Panitia Angket DPRD DKI, Muhammad Sangaji mencoba menanyakan hal serupa, lantaran tak puas dengan jawaban tersebut. Dia bertanyakan, bagaimana apabila pejabat menerima sesuatu dari swasta atas nama jabatannya, namun tak dilaporkan ke Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) serta tanpa sepengetahuan dewan.
Lantaran yakin jawaban Soemardjijo tak akan memuaskan. Pertanyaan itu pun disahut Wakil Ketua DPRD DKI, Abraham Lunggana. “Lewatin sajalah. Itu bukan makomnya bapak. Nanti panggil BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) saja,” ketusnya. Ruang sidang spontan bergemuruh mendengar jawaban tersebut.
Sebelumnya, saat presentasi, Soemardjijo memaparkan beberapa peraturan perundangan yang memuat tentang pembahasan APBD serta pembagian tugas eksekutif dan dewan.
“Setelah ada UUD 1945, negara tentu punya aturan, yakni UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara. Kemudian, UU No. 1/2004 tentang Pembendaharaan Negara,” ucapnya. “Lalu, UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan Negara dan Permendagri No. 37,” imbuh dia.
APBD, kata Soemardjijo, juga diatur UU Pemerintah Daerah (Pemda), dimana dewan diperbolehkan mengajukan usul sehingga penerimaan dan belanja yang diusulkan eksekutif berubah. “Kemudian Pasal 20 juncto Pasal 25, di mana APBD yang disetujui DPRD terperinci sampai organisasi, fungsi, dan program belanja. Jadi, sampai satuan tiga.”
Pasal 96 paragraf 2 juncto 3 UU Pemda, kata dia, dewan juga diperkenankan menjaring aspirasi masyarakat dalam rangka melaksanakan fungsinya. APBD yang disusun pun harus sesuai sistem informasi keuangan.
Menyangkut dasar hukum penerapan e-budgeting, bagi Soemardjijo, secara jelas dipaparkan dalam Pasal 1 juncto Pasal 10 UU Pengelolaan Keuangan Negara. “Di mana ada kalimat dokumen adalah data, catatan dan/atau yang berkaitan dengan pngelolaan keuangn daerah, baik tertulis maupun dalam corak apapun. Corak apapun ini e-budgeting. Mungkin dulu saat undang-undang dibuat, e-budgeting belum terkenal. Jadi, bisa pakai manual, komputer.” @fatah_sidik
0 comments:
Post a Comment