Tuesday, April 1, 2014

Maling kayu Jati Bawean dilindungi oknum polisi

Maling kayu Jati Bawean dilindungi oknum polisi



Dr. Jazuni, SH, MH (Advokat)


PENEBANGAN liar yang yang terjadi di pulau Bawean bukan hal yang baru terjadi. Penjarah hutan bekerja sama dengan aparat penegak hukum, masyarakat yang mencoba mengungkap tidak punya nyali kuat. Apalagi, ini sedah menjadi korporasi kuat, harapan masyarakat kasus ini bisa terungkap dan diproses sesuai undang-undang yang berlaku.


Baca juga: Oknum kehutanan peras puluhan juta "maling" kayu jati dan Maling kayu Jati Bawean jadi obyek oknum polisi


Penebangan liar atau “maling” kayu milik negara sudah meresahkan masyarakat sejak dulu, dan masyarakat sudah tahu siapa pelaku dan bekingnya. Namun, masyarkat tidak bisa berbuat apa-apa,

pemerintah seharusnya serius ketika masyarakat sudah mulai tumbuh keyakinan terhadap penegak hukum untuk betul-betul memproses kasus tersebut.


Saya, Dr. Jazuni, SH, MH, Advokat tinggal di Jl. Bintara X/AA/62 Bekasi Barat, lahir di Pulau Bawean Kabupaten Gresik dan sejak tahun 2011 sering berada di Bawean dalam rangka merintis usaha

pertanian terpadu. Dengan ini melaporkan penebangan liar dalam kawasan hutan konservasi Bawean.


Dari bekas-bekasnya, tampak bahwa penebangan liar ini sering terjadi dan berlangsung sejak lama. Ada pun yang saya laporkan ini adalah:

1. Penebangan liar kayu jati di dekat Dusun Sungai Wungur Desa Diponggo Kecamatan Tambak;


2. Penebangan liar kayu mangopa di hutan yang oleh masyarakat sekitar disebut Geligir Barat, ada yang menyebut Songai Benge. Untuk dua penebangan liar ini saya dan beberapa orang teman sempat

melakukan investigasi (dan memiliki foto dokumentasi).


PENEBANGAN LIAR KAYU JATI

Pada tanggal 15 Pebruari 2014, saya melaporkan dugaan penebangan liar melalui SMS kepada Kepala RKW Pulau Bawean (NURSYAMSI, NIP. 196717101997031001);


Dalam laporan saya sebutkan bahwa selama beberapa hari, dan hari itu saya mendengar suara chainsaw, yang saya duga penebangan liar di hutan konservasi. Saya minta diusut tuntas agar

BKSDA tidak dituding diskriminatif. Ada kesan selama ini BKSDA berlaku diskriminatif -hanya bertindak tegas terhadap penebangan liar yang dilakukan penduduk desa, dan mengabaikan penebangan liar yang dilakukan preman kelas kakap (untuk ukuran Bawean);


Saya berharap laporan saya segera ditindaklanjuti. Jika tidak segera, sama dengan membuang kesempatan menangkap basah pelaku, dan memberikan kesempatan pelaku penebangan liar

terus menyelesaikan perbuatannya -termasuk “mengamankan” (baca: menyembunyikan) barang bukti (hasil kejahatannya);


Akan tetapi, BKSDA RKW Bawean tidak segera menindaklanjuti laporan saya. Sehingga, saya (bersama beberapa orang – termasuk tokoh masyarakat Diponggo) berinisiatif melihat penebangan liar

tersebut. Ternyata benar, ada bekas penebangan liar beberapa pohon jati. Belakangan, melihat kedekatan Nursyamsi dengan orang yang diduga pelaku penebangan liar tersebut, saya menduga lambannya BKSDA RKW Bawean menindaklanjuti laporan saya adalah untuk memberikan kesempatan

kepada pelaku untuk menyelesaikan pekerjaannya;


Dari fakta di lokasi, hampir pasti penebangan liar ini dilakukan penebang liar kelas kakap dan memiliki “beking” aparat, karena penebangan dan pengolahannya menggunakan mesin (chainsaw). Padahal, lokasi penebangannya di dekat pemukiman, dan waktu pengolahan berhari-hari. Penebang liar dari golongan orang kecil, menurut informan saya, melakukan penebangan di malam hari atau pagi-pagi sekali dengan menggunakan kapak atau gergaji manual agar tidak terdengar orang;


Setelah mengetahui saya melakukan investigasi dan memiliki foto bukti-bukti di lokasi, BKSDA RKW Bawean (khususnya Nursyamsi) tampak kelabakan. BKSDA RKW Bawean segera melaporkan kejadian tersebut di Polsek Tambak;


Tidak mustahil laporan tersebut hanya formalitas untuk menunjukkan bahwa BKSDA RKW Bawean sudah “bekerja” dan ingin “cuci tangan” dari kasus tersebut. Hanya formalitas, karena BKSDA RKW Bawean secara materiel tidak mencari tahu lebih lanjut siapa pelakunya dan dikemanakan barang buktinya. Bahkan, BKSDA RKW Bawean tidak pernah meminta keterangan saya sebagai pelapor;


Mengenai laporan BKSDA RKW Bawean di Polsek Tambak, juga tidak ada tindaklanjutnya. Jika laporan ditindaklanjuti, seharusnya saya dimintai keterangan karena sayalah yang mengangkat kasus ini ke

permukaan. Wajar jika banyak warga masyarakat pesimis Polsek Tambak akan serius menangani kasus ini, karena banyak anggota Polsek Tambak yang terkesan menjadi “kacungnya” terduga pelaku penebangan liar tersebut.


Di samping itu, di Polsek Tambak ada beberapa polisi “busuk”: Ada polisi yang memeras orang kampung yang menebang kayu milik sendiri untuk digunakan sendiri, seperti terjadi di Dusun

Panyalpangan, dan ini menjadi cerita “populer” di Desa Kepuhlegundi dan sekitarnya. Ada polisi yang sering menebang kayu di desa-desa tanpa pernah mengambil surat dari desa, dan ini membuat Kepala Desa dan Perangkat Desa setempat merasa dilecehkan, sebagaimana cerita yang saya dengar dari beberapa orang Kepala Desa dan banyak Perangkat Desa di Kecamatan Tambak;


Ada polisi yang terkesan membela preman, seperti preman bernama Yamin yang konon menikah dengan perempuan asal Dusun Telukemur Desa Kepuhteluk (hampir pasti bukan nikah resmi, tanpa surat

nikah) dan mau memeras warga Dusun Pasirpanjang dengan mengancam akan merusak sumber air yang telah puluhan tahun digunakan oleh warga dan telah dibangun atas biaya pemerintah. Masih banyak contoh kebusukan oknum polisi di Polsek Tambak; @BERSAMBUNG


alexa ComScore Quantcast

Google Analytics NOscript

0 comments:

Post a Comment