Redaksi: Yayasan Arsari Djojohadikusumo (YAD) milik politikus Gerindra Hashim Djojohadikusumo membayar sebanyak U$660,000.00 kepada sebuah perusahaan lobbying di Washington. Apa yang mereka lobby? Berikut tulisan Made Supriatma dari Indoprogress, yang masih aktual diperbincangkan.
========
MATA sejarawan tua itu berbinar-binar menghadapi kamera. Dia sedang menjelaskan silsilah keluarga Prabowo Subianto, mantan jendral yang kini sedang mengadu peruntungannya untuk menjadi Presiden Indonesia ke tujuh. Sang sejarawan tampaknya berusaha meyakinkan bahwa dari garis keturunannya, Prabowo adalah keturunan pahlawan. Dia memiliki karakter yang sedia berkorban, dan bukan tipe yang ‘yes man’.1
Baca juga: Jika dipilih rakyat, Prabowo bentuk kabinet terbaik untuk Indonesia dan Ratusan massa Gardu Prabowo Jombang malah dukung Jokowi-JK
Itulah yang muncul dari film dokumenter, ‘Sang Patriot.’ Sejarawan yang berbicara disana adalah Peter Carey, seorang profesor dari Oxford yang ahli mengenai Perang Diponegoro. Film dokumenter tersebut adalah semacam ‘biography movie’ yang lazim dibikin sebagai pembuka kampanye pemilihan presiden di Amerika. Film semacam ini dipakai untuk ‘memperkenalkan’ calon presiden kepada masyarakat.
Keterlibatan sejarahwan Peter Carey dalam film ini dengan segera memancing kontroversi. Seorang penulis menuduh Carey telah menjual ‘kemerdekaan jiwa(akademis)nya lewat film tersebut.2 Dengan segera, kontroversi ini meluas dan merambah komunitas ilmuwan sosial yang mempelajari Indonesia.3 Carey sendiri kemudian mengakui bahwa dia memang melakukan rekaman wawancara 90 menit untuk sebuah film dokumenter. Itu dilakukan atas permintaan Yayasan Arsari Djojohadikusumo. Yayasan ini ikut membantu pendanaan penerbitan terjemahan buku Carey tentang Pangeran Diponegoro.
Untuk banyak pihak, Yayasan Arsari Djojohadikusumo (YAD) adalah sebuah lembaga sosial. Yayasan ini membantu kegiatan pendidikan, sosial, kebudayaan dan kesenian. Tidaklah terlalu mengherankan jika orang seperti Peter Carey memberikan penghargaan tinggi kepada Yayasan, termasuk juga pada pemiliknya. YAD memang yayasan yang sangat murah hati (generous). Bahkan, mungkin, yang paling murah hati dibandingkan dengan yayasan-yayasan sejenis yang ada di Indonesia.
Namun, benarkah YAD semata-mata hanyalah sebuah yayasan sosial biasa? Laporan investigasi ini menemukan indikasi bahwa yayasan ini juga memiliki ‘misi’ yang tidak pernah diungkapkan kepada publik. Terutama karena yayasan ini juga dipakai untuk memajukan kepentingan politik pemiliknya, Hashim Djojohadikusumo beserta keluarganya. Hashim adalah adik kandung dari Prabowo Subianto, calon presiden Indonesia di tahun 2014. YAD juga bekerja untuk kepentingan politik partai Gerindra yang didirikan oleh dua bersaudara anak Soemitro Djojohadikusumo ini.
Kasus film dokumenter ‘Sang Patriot’ mengindikasikan adanya kepentingan politik tersebut. Hubungan Hashim dengan kakaknya Prabowo memang sangat dekat. Keduanya saling bahu membahu dalam mewujudkan ambisinya. Hashimlah yang membantu Prabowo terjun ke dunia bisnis ketika dia mengasingkan diri ke Yordania paska kejatuhan mantan mertuanya, Suharto. Hashim pulalah yang banyak berada di belakang layar dan membantu Prabowo melakukan ‘political comeback.’ Sedemikian pentingnya peranan Hashim atas kehidupan bisnis dan politik Prabowo, sehingga dia sempat mengibaratkan bahwa dirinya hanya ‘wayang’ dan Hashim adalah ‘dalangnya.’4
Sulit untuk memisahkan YAD dari kegiatan politik yang dilakukan oleh pengurus dan pendirinya. Yayasan ini adalah yayasan keluarga. Para pengurusnya, yang sebagian besar adalah keluarga Hashim Djojohadikusumo, juga terlibat dalam partai Gerindra, baik sebagai pengurus maupun sebagai anggota parlemen yang mewakili Gerindra.
Penyelidikan yang lebih mendalam atas yayasan ini memperlihatkan bahwa YAD tidak saja aktif di Indonesia, tetapi juga di Washington, D.C., Amerika Serikat. Laporan ini akan memperlihatkan bagaimana YAD pada tahun 2013, telah menyewa sebuah firma pemengaruh (lobbying firm) yang bernama Williams Mullen P.C.
Pada tahun itu juga, YAD diketahui telah mengeluarkan uang sebanyak US$660,000.00 (Rp 7,8 milyar) untuk kepentingan lobbying. Jumlah sebesar itu lebih dari separuh penghasilan Williams Mullen P.C. dari jasa lobbying (pemengaruh) di tahun 2013. Laporan ini juga akan memberikan konteks bagaimana usaha lobbying bekerja dalam sistem politik Amerika.
Dalam kaitannya dengan Gerindra, usaha Hashim Djojohadikusumo melakukan usaha lobbying di Washington lewat YAD miliknya, sangat berlawanan dengan retorika yang selalu dikumandangkan partai Gerindra.
Di dalam penampilan publiknya, Gerindra tampil sebagai partai ultra-nasionalis yang akan melindungi kepentingan Indonesia dari dominasi dan ‘pencurian kekayaan’ dari negara-negara asing. Tidak terlalu sulit untuk menebak bahwa yang dijadikan sasaran oleh Gerindra adalah negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat. Usaha lobbying menjadi sangat aneh, karena pada hakekatnya si pelobi meminta kepentingannya diakomodasi dalam kebijakan sebuah pemerintah. @bersambung
0 comments:
Post a Comment