Redaksi: Wartawan senior –mantan jurnalis Tempo– Karni Ilyas, yang pernah dianugerahi Lensaindonesia (Maret 2013), penghargaan “The Right Man on The Right Place” sebagai Host fenomenal tayangan teve Indonesia untuk program demokrasi di ILC TVOne dalam iklannya mengatakan; “Kalau yudikatif, eksekutif, dan legislatif korupsi, siapa yang mengawasi mereka.” Mencenungkan. Rakyat seolah frustasi mendengarnya. Satu-satunya harapan adalah pilar demokrasi yang keempat, yaitu pers untuk dapat mengawal hukum dan adilan di Indonesia. Benarkah? Seorang jurnalis media besar nasional –sebut wartawan T– sebaliknya, malah nelangsa menjalani karier sebagai jurnalis tanah air; virus korupsi di profesi “penyampai kebenaran” ini pun disinyalir tak kalah asyik masyuk. Alhasil, ia pun “sakit hati” dan terpaksa hijrah buka depot kecil di sudut Jakarta. Berikut ia membeberkan.
============
SAYA adalah seorang perempuan biasa yang sempat bercita-cita menjadi seorang wartawan. Menjadi wartawan T tepatnya. Kekaguman saya terhadap sosok GM yang menjadi alasan utamanya. Dimulai dari mengoleksi coretan-coretan beliau yang tertuang dalam ‘CP’ hingga rutin membaca Majalah T sejak masih duduk di bangku pelajar, membulatkan tekad saya untuk menjadi bagian dalam grup media T.
Baca juga: Wartawan tak bisa bebas meliput di wilayah Polresta Madiun dan Di Bundaran HI, wartawan desak Polri tindak penganiaya jurnalis Kompas
Dengan polos, saya selalu berpikir, salah satu cara memberikan kontribusi yang mulia kepada masyarakat, mungkin juga negara adalah dengan menjadi bagian dalam jejaring wartawan T. Apalagi, sebagai awam saya selalu melihat T sebagai media yang bersih dari praktik-praktik kotor permainan uang. Permainan uang ini, dikenal dalam dunia wartawan dengan istilah ‘Jale’ yang merupakan perubahan kata dari kosakata ‘Jelas’.
“Jelas nggak nih acaranya?”
“Ada kejelasan nggak nih?”
“Gimana nih broh, ada jale-annya nggak?”
Kira-kira begitu pembicaraan yang sering saya dengar di area liputan. Istilah ‘Jelas’ berarti acara liputannya memberikan ongkos transportasi alias gratifikasi kepada wartawan, dengan imbal balik tentunya penulisan berita yang positif. Dari kata ‘Jelas’, kemudian bergeser istilah menjadi ‘Jale’ yang menjadi kosakata slank untuk ‘Uang Transportasi Wartawan’.
Perilaku menerima uang sudah menjadi sangat umum dalam dunia wartawan. Saya pribadi jujur sangat jijik dengan perilaku tersebut.
Ketika (akhirnya) saya bergabung dengan grup T di tahun 2006, sebagaimana cita-cita saya dulu sekali, saya merasa lega.
“Setidaknya, saya tidak menjadi bagian dari media-media ecek-ecek yang kotor dan sarat permainan uang” pikir saya.
Dulu, saya berpikir, media besar seperti T, Kompas, Bisnis Indonesia, Jawa Pos dan sebagainya, tidak mungkin bermain uang dalam peliputannya. Dulu, saya pikir, hanya media-media tidak jelas saja yang bermain seperti itu.
Namun fakta berkata lain. Sempat tidak percaya karena begitu dibutakan kekaguman saya pada kewartawanan, GM, T dan lainnya, saya sempat menolak percaya bahwa wartawan-wartawan T, Kompas, BI, JP, Ant dan lain-lainnya, rupanya terlibat juga dalam jejaring permainan uang.
Media-media tidak jelas atau yang lebih dikenal dengan media Bodrek bermain uang dalam peliputannya. Hanya saja, dari segi uang yang diterima, saya bisa katakan kalau itu hanya Uang Receh.
Mafia-nya bukan disitu. Media-media Bodrek bukan menjadi mafia permainan uang dalam jual beli pencitraan para raksasa politik, korporasi, pemerintahan. Adalah media-media besar seperti T, Kmps, Dtk, Ant, BI, ID, JP dan sebagainya, yang menjadi pelaku jual beli pencitraan alias menjadi mafia permainan uang wartawan.
Siapa tak kenal F (Kmp) yang menjadi kepala mafia uang dari Bank Indonesia dalam permainan uang di kalangan wartawan perbankan?
Siapa tak kenal Kang Bd (Antn) yang mengatur seluruh permainan uang di kalangan wartawan Bursa Efek Indonesia?
Siapa tak kenal duet Ant (ID) dan Ysf (BI) yang mengatur peredaran uang wartawan di sektor Industri?
Banyak lagi lainnya, yang tak perlu saya ungkap disini. Tapi beberapa nama berikut ini, sungguh menyakitkan hati dan pikiran saya, sempat menggoyahkan iman saya, lantas betul-betul membuat saya kehilangan iman.
Adalah BH (eks Pimred T yang kemudian menjadi pejabat DP, juga salah satu orang kepercayaan GM di grup T) yang menjadi kepala permainan uang di dalam grup T.
Siapa bilang T bersih?
Saya melihat sendiri bagaimana para wartawan T memborong saham-saham grup Bakrie setelah T mati-matian menghajar grup Bakrie di tahun 2008 yang membuat saham Bakrie terpuruk jatuh ke titik terendah. Ketika itu, tak sedikit para petinggi T yang melihat peluang itu dan memborong saham Bakrie.
Dan rupanya, perilaku yang sama juga terjadi pada media-media besar lainnya, seperti yang sebut di atas.
Memang, secara gaya, permainan uang dalam grup T berbeda gaya dengan grup JP. Teman saya di JP mengatakan, falsafah dari DI (pemilik grup JP) adalah, gaji para wartawan JP tidak besar, namun manajemen JP menganjurkan para wartawannya mencari ‘pendapatan sampingan’ di luar. Syukur-syukur bisa mendatangkan iklan bagi perusahaan.
T berbeda. Kami, wartawannya, digaji cukup besar. Start awal, di angka 3 jutaan. Terakhir malah mencapai 4 jutaan. Bukan untuk mencegah wartawan T bermain uang seperti yang dipikir banyak orang. Rupanya, agar para junior berpikir demikian, sementara para senior bermain proyek pemberitaan.
Media sekelas T, Kmp, BI dan sebagainya yang sebut tadi di atas, tidak bermain Receh. Mereka bermain dalam kelas yang lebih tinggi. Mereka tidak dibayar per berita tayang seperti media ecek-ecek. Mereka di bayar untuk suatu jasa pengawalan pencitraan jangka panjang.
Memangnya, ketika T begitu membela Sri Mulyani, tidak ada kucuran dana dari Arifin Panigoro sebagai pendana Partai SRI?
Memangnya, ketika T menggembosi Sukanto Tanoto, tidak ada kucuran dana dari Edwin Surjadjaja (kompetitor bisnis Sukanto Tanoto)?
Memangnya, ketika T usai menghajar Sinarmas, lalu balik arah membela Sinarmas, tidak ada kucuran dana dari Sinarmas? Memang dari mana GM mampu membangun Salihara dan Green Gallery?
Memangnya, ketika grup T membela Menteri BUMN Mustafa Abubakar dalam Skandal IPO Krakatau Steel dan Garuda, tidak ada deal khusus antara BH dengan Mustafa Abubakar? Saat itu, BH juga Freelance menjadi staff khusus Mustafa Abubakar.
Memangnya, ketika T mengangkat kembali kasus utang grup Bakrie, tidak ada kucuran dana dari Menteri Keuangan Agus Martowardojo yang saat itu sedang bermusuhan dengan Bakrie? Lin Che Wei sebagai penyedia data keuangan grup Bakrie yang buruk, semula menawarkan Nirwan Bakrie jasa ‘Tutup Mulut’ senilai Rp 2 miliar. Ditolak oleh bos Bakrie, Lin Che Wei kemudian menjual data ini ke Agus Marto yang sedang berseberangan dengan grup Bakrie terkait sengketa Newmont. Agus Marto sepakat bayar Rp 2 miliar untuk mempublikasi data buruk grup Bakrie tersebut. Grup T sebagai gerbang pembuka data tersebut kepada masyarakat dan media-media lain, dapat berapa ya? Lin Che Wei dapat berapa?
Fakta-fakta itu, yang semula begitu enggan saya percayai karena fundamentalisme saya yang begitu buta terhadap T, sempat membuat saya frustrasi. Kalau boleh saya samakan, mungkin kebimbangan saya seperti seorang yang hendak berpindah agama. Spiritualitas dan mentalitas saya goncang akibat adanya fakta-fakta tersebut. Bukan hanya fakta soal permainan mafia grup T, tetapi juga fakta bahwa media-media besar bersama wartawan-wartawannya, lebih jauh terlibat dalam permainan uang dan jual beli pencitraan, layaknya jasa konsultan.
Mereka, media-media besar ini, tidak bermain Receh, mereka bermain dalam cakupan yang lebih luas lagi, baik deal politik tingkat tinggi, juga transaksi korporasi kelas berat.
Namun semua itu sebetulnya tidak terlalu saya masalahkan, hingga suatu hari saya lihat sendiri bahwa permainan uang dan jual beli pencitraan juga terjadi pada media tempat saya bekerja, T. Dikepalai oleh Bambang Harimurti sebagai salah satu Godfather mafia permainan uang dan transaksi jual beli pencitraan dalam grup
T, kini tidak hanya bergerak dari dalam T, tetapi sudah menjadi jejaring antara grup T dengan para eks-wartawan T yang membangun kapal-kapal semi-konsultan untuk memperluas jaringan mereka, masih di bawah BH.
Saya pribadi, memutuskan resign dari T pada awal tahun 2013. Muak dengan segala kekotoran T, kejorokan media-media di Indonesia, kejijikan melihat jejaring permainan uang dan jual beli pencitraan di kalangan wartawan T dan media-media besar lainnya.
Praktik mafia T kini semakin menjadi-jadi.
Agustus lalu, masih di tahun 2013, saya sempat mampir ke Bank Mandiri pusat di jalan Gatot Subroto. Saat itu, saya sudah resign dari grup T. Tak perlu saya sebut, kini saya bekerja sebagai buruh biasa di sebuah perusahaan kecil-kecilan, namun jauh dari permainan kotor T.
Di gedung pusat Bank Mandiri itu, saya memang janjian dengan eks-wartawan T bernama Eko Nopiansyah yang kini bekerja sebagai Media Relations Bank Mandiri. Ia keluar dari T dan pindah ke Bank Mandiri sejak tahun 2009, karena dibajak oleh Humas Bank Mandiri Iskandar Tumbuan.
Pada pertemuan santai itu, hadir juga Dicky Kristanto, eks-wartawan Antara yang kini juga menjabat sebagai Media Relations Bank Mandiri. Kami bincang bertiga. Pak Iskandar, yang dulu juga saya kenal ketika sempat meliput berita-berita perbankan sempat mampir menemui kami bertiga. Namun karena ada meeting dengan bos-bos Mandiri, pak Iskandar pun pamit.
Sambil menyeruput kopi pagi, saya berbincang bersama Eko dan Dicky. Mulai dari obrolan ringan seputar kabar masing-masing, hingga bicara konspirasi politik dan berujung pada obrolan soal aksi lanjutan T dalam ‘memeras’ Bank Mandiri terkait kasus SKK Migas.
Saya lupa siapa yang memulai pembicaraan mengagetkan itu, meski sebetulnya kami sudah tidak kaget lagi karena memang kami, kalangan wartawan (atau eks-wartawan) sudah paham betul perilaku wartawan.
Siapapun itu, Eko maupun Dicky menuturkan keluhannya terhadap grup T. Begini ceritanya.
“Ketika kasus suap SKK Migas yang melibatkan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini terkuak, saat itu beliau juga menjabat sebagai Komisaris Bank Mandiri. Dan memang harus diakui bahwa aktivitas transaksi suap, pencairan dana dan sebagainya, menggunakan rekening Bank Mandiri. Tapi ya itu kami nilai sebagai transaksi individu. Karena berdasarkan UU Kerahasiaan Nasabah, kami Bank Mandiri pun tidak dapat melihat dan memang tidak diizinkan menilai tujuan dari sebuah transaksi pencairan, transfer atau apapun, kecuali ada permintaan dari pihak Bank Indonesia, PPATK, pokoknya yang berwenang. Oleh sebab itu, kami tidak terlalu memusingkan soal apakah Bank Mandiri akan dilibatkan dalam kasus SKK Migas,” tuturnya.
“Tiba-tiba, masuklah proposal kepada divisi Corporate Secretary dan Humas Bank Mandiri dari KataData. Itu lho lembaga barunya MD (eks-wartawan T) yang didanai oleh Lin Che Wei (eks-broker Danareksa). Gua kira KataData murni bergerak di bidang pemberitaan. Eh, nggak taunya KataData juga bergerak sebagai lembaga konsultan. Jadi KataData menawarkan jasa solusi komunikasi kepada Bank Mandiri untuk berjaga-jaga apabila isu SKK Migas meluas dan mengaitkan Bank Mandiri sebagai fasilitator aksi suap,” ungkapnya.
“Rekomendasinya sih menarik, KataData menawarkan agar aksi suap SKK Migas dipersonalisasi menjadi hanya kejahatan Individu, bukan kejahatan kelembagaan, baik itu lembaga SKK Migas maupun Bank Mandiri. Apalagi, Metta mengatakan bahwa tim KataData juga sudah bergerak di social media untuk mendiskreditkan Rudi Rubiandini dalam isu perselingkuhan, sehingga akan mempermudah proses mempersonalisasi kasus suap SKK Migas menjadi kejahatan individu semata,” jelasnya.
“Data-data yang ditampilkan KataData memang menarik, karena riset data dilakukan oleh IRAI, lembaga riset milik Lin Che Wei yang menjadi penyedia data utama KataData. Kalau tidak salah waktu itu data utang-utang grup Bakrie yang dibongkar T juga dari IRAI ya? Itu lho, yang tadinya ditawarin ke pak Nirwan dan karena ditolak kemudian dibayarin Agus Marto Rp 2 miliar untuk menghajar grup Bakrie,” papar dia.
“Kita sih waktu itu melaporkan proposal tersebut kepada para direksi Bank Mandiri. Dan selama sekitar 2 pekan, memang belum ada arahan dari direksi mau diapakan proposal tersebut. Penjelasan pak Iskandar (humas Bank Mandiri) sih, direksi masih melakukan koordinasi dengan Kementerian BUMN dan pemerintahan. Biar bagaimanapun ini isu besar, salah langkah bisa berabe akibatnya. Gua sih yakin, saat itu bos-bos lagi memetakan dulu kemana arah isu ini sebelum memberikan jawaban terhadap proposal yang masuk. Karena selain KataData juga ada dari pihak-pihak konsultan lainnya,” kata dia.
“Eeh, tau-tau Pak Iskandar bilang, gila, T makin jadi aja kelakuannya. Masak BH sampai menelpon langsung ke pak Budi (Direktur Utama Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin) terkait proposal KataData yang memang belum kita respon karena masih memetakan arah isunya. Secara tersirat kita tau lah telepon itu semacam ancaman halus dari BHM dan KataData bahwa jika tidak segera direspon, maka data-data akan dipublikasi, tentunya dalam cara T mempublikasi data dong yang selalu penuh asumsi dan bertendensi negatif,” ungkap dia.
“Menurut Pak Iskandar, meski sudah diperingati soal bahaya menolak tawaran (alias ancaman) T grup adalah terjadinya serangan isu negatif kepada Bank Mandiri, rupanya Pak Budi (Direktur Utama Bank Mandiri) bersikeras tidak takut terhadap grup T. Penolakan memberikan respon cepat terhadap proposal KataData pun disampaikan kepada BHM,” singkap dia.
“Alhasil, terbitlah Majalah T edisi 18 Agustus 2013 dengan judul Setelah Rudi, Siapa Terciprat? yang isinya begitu mendiskreditkan Bank Mandiri dalam kasus SKK Migas. T membentuk opini bahwa aksi suap Rudi Rubiandini tidak akan terjadi apabila Bank Mandiri tidak memfasilitasinya,” keluh dia.
“Ini kan semacam pemerasan halus atau pemerasan Kerah Putih dari jejaring T (Bambang Harimurti), KataData (MD, Eks-Wartawan T) dan IRAI (Lin Che Wei, Eks-Broker Danareksa dan pendana utama KataData). Begitu edisi tersebut tayang, kita sih tepuk dada saja menghadapi mafia T dalam memeras korban-korbannya. Biasanya memang begitu polanya. Begitu ada kasus skala nasional, calon-calon korban seperti kita (Bank Mandiri) akan didekati oleh mereka, ditawari jasa konsultan dengan ancaman kalau tidak deal, ya di blow up. Padahal data yang mereka publish tidak sepenuhnya benar. Tapi semua orang juga tau kalau T sangat pintar memainkan asumsi dan tendensi negatif,” keluh dia.
Mendengar cerita tersebut, dalam hati saya bersyukur kalau saya sudah tidak lagi menjadi bagian dari T yang sudah tidak bersih lagi. Mereka sudah menjadi bagian dari praktik mafia permainan uang wartawan dan transaksi jual beli pencitraan. Sama saja dengan media-media lainnya kayak Kmp, Ant, Dtk, BI, ID, JP dan lain-lain.
Saya lega sudah dibukakan mata dan tidak lagi buta terhadap T maupun mimpi saya menjadi seorang wartawan yang bersih. Sulit menjadi bersih di kalangan wartawan. Godaan begitu banyak. Tidak hanya di luar organisasi tempat kamu bekerja, tetapi juga di dalam organisasi tempatmu bekerja.
Hampir mirip seperti PNS, mengikuti arus korupsi adalah sebuah keharusan, karena jika tidak, karirmu akan mandek. Korupsi yang melembaga tidak hanya terjadi di lembaga pemerintah. Jejaring wartawan, media seperti yang terjadi pada grup T, meski mereka seringkali memeras dengan ‘kedok’ melawan korupsi, toh kenyataannya grup T telah menjadi bagian dari praktik mafia permainan uang wartawan dan transaksi jual beli pencitraan.
TEMPO dan media-media besar lainnya tidak lagi bersih. Korupsi dalam grup T telah melembaga alias terorganisir, sebagaimana korupsi di organisasi pemerintahan, departemen dan sebagainya.
Saya bersyukur dibukakan mata dan dijauhkan dari dunia itu. Lebih senang dan tenang batin bekerja sebagai buruh biasa seperti yang saya lakukan kini. Insya Allah jauh dari dunia hitam. @(Jilbab Hitam, mantan wartawan T/ KCM/Kompasiana).
sumber: Suaranews.com
Judul asli: “WOW… Mantan Wartawan T Ungkap Permainan Uang Brutal Media Besar di Indonesia”
0 comments:
Post a Comment