LENSAINDONESIA.COM: UU No. 12 Tahun 2014 tentang APBN-P 2014 beberapa bulan lalu telah disahkan, dan volume kuota BBM bersubsidi dikurangi dari 48 juta KL menjadi 46 juta KL. Untuk menjalankan amanat Undang-Undang tersebut, maka setelah itu BPH Migas mengeluarkan Surat Edaran Surat Edaran BPH Migas No. 937/07/Ka BPH/2014 tanggal 24 Juli 2014 Tentang Pembatasan Solar dan Premium agar kuota 46 juta KL bisa cukup sampai dengan akhir tahun 2014.
Indonesia energi monitoring (INDERING) yang fokus melakukan pengawasan dan pengkajian terhadap pengelolaan energi mengamati bahwa surat edaran yang dikeluarkan BPH Migas tentang pembatasan solar dan premium belum sepenuhnya dijalankan pihak-pihak penyalur BBM bersubsidi. Sehingga INDERING segera melakukan pengawasan langsung turun ke lapangan untuk memastikan apakah kebijakan tersebut berjalan sesuai aturan yang berlaku atau tidak.
Baca juga: Pertamina khawatir BBM subsidi over kuota hingga 1.61 juta kiloliter dan PT Eureka bangun pusat industri kreatif di Jakarta
“Dari hasil monitoring ke lapangan, INDERING menemukan beberapa penyalahgunaan atau penyelewengan penjualan minyak BBM bersubsidi yang diduga dilakukan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Bunker (SPBB) 37-0115 sebagai penyalur BBM bersubsidi di Pelabuhan Muara Angke Jakarta Utara,” ungkap Zuli Hendriyanto, Direktur Eksekutif INDERING kepada Licom, pekan ini.
SPBB 37-0115 milik Koperasi Pegawai Negeri Dinas Perikanan DKI Jakarta, menurut Zuli, diduga menjual 20 % minyak solar bersubsidi dengan harga minyak solar non subsidi/industri kepada para nelayan atau pemilik kapal, sehingga pengelola SPBB mendapatkan keuntungan yang melimpah dari dari penyelewengan penjualan tersebut.
Kemudian, INDERING juga memantau bahwa SPBB 37-0115 juga menjual minyak solar bersubsidi untuk kapal ukuran diatas 30 GT. Padahal, seharusnya yang berhak memanfaatkan dan menggunakan minyak solar bersubsidi hanyalah kapal nelayan dibawah ukuran 30 GT. “Sehingga, banyak kapal nelayan dibawah 30 GT harus menunggu dan tidak beroperasi selama satu bulan karena stock minyak solar bersubsidi telah habis,” ungkapnya lagi.
Selain itu, lanjut Zuli, kasihan para nelayan dipaksa membeli minyak solar non subsidi/industri oleh SPBB 37-0115. Jika tidak mau membeli minyak solar non subsidi/industri, maka nelayan diminta menunggu selama satu bulan dengan alasan bahwa minyak solar bersubsidi belum dikirimkan oleh PT. Pertamina.
Tindakan yang diduga dilakukan SPBB 37-0115 ini, ungkapnya, jelas adalah penyalahgunaan kebijakan maupun aturan hukum yang berlaku tentang penyaluran BBM bersubsidi, tindakan SPBB 37-0115 adalah tindakan penyelewengan penyaluran BBM bersubsidi yang telah merugikan rakyat khususnya merugikan dan mencekik para nelayan di Pelabuhan Muara Angke yang selama ini nelayan telah banyak berkontribusi dalam pemenuhan kebutuhan perikanan dan peningkatan perekonomian Indonesia.
Maka itu, menurut Zuli, INDERING mendesak Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah DKI Jakarta yang dipimpina Plt Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan pihak-pihak yang berwenang harus melakukan Pemeriksaan kepada SPBB 37-0115 milik Koperasi Pegawai Negeri Dinas Perikanan DKI Jakarta dan memberikan sanksi yang seberat-beratnya sampai kepada pencabutan izin SPBB dan proses hukum yang berlaku.
INDERING juga mendesak BPH Migas dan PT. Pertamina untuk meningkatkan pengawasan dilapangan terhadap proses penyaluran BBM bersubsidi maupun non subsidi/industri di Indonesia. “Karena peranan BBM sangat penting bagi aktifitas kegiatan bagi bangsa dan negara sehingga diperlukan penyediaan dan penyaluran BBM yang cepat dan tepat agar pemanfaatan dan penggunaan BBM untuk peningkatan kemakmuran rakyat dapat segera terwujud,” katanya. Sementara itu, belum diperoleh konfirmasi dari pihak SPBB 37-01135 terkait temuan INDERING ini. @licom_09
0 comments:
Post a Comment