Tuesday, October 14, 2014

Ini elit-elit Indonesia yang pernah sewa perusahaan lobbying Amerika

Ini elit-elit Indonesia yang pernah sewa perusahaan lobbying Amerika




Oleh: Made Supriatma (Indoprogress)

MENURUT data yang saya peroleh dari The Sunlight Foundation, sebuah lembaga nirlaba yang berusaha meningkatkan transparansi dan pertanggungjawaban (accountability) di semua lembaga pemerintahan di Amerika Serikat, Yayasan Arsari Djojohadikusumo pernah menyewa sebuah perusahaan lobbying yang bernama Williams Mullen, PC. Itu dilakukan YAD sepanjang tahun 2013.


Dalam laporannya ke Congress Amerika, lobbying ini bertujuan untuk: Mempromosikan hubungan yang kuat antara pemerintah Amerika Serikat, bisnis Amerika, dan masyarakat Amerika dengan warga Indonesia serta lembaga-lembaga swadaya masyarakat, termasuk dalam masalah pertumbuhan ekonomi dan keamanan regional seperti yang diinginkan dan didukung oleh Yayasan Arsari Djojohadikusumo.


Baca juga: Dinasti Djojohadikusumo, sumbang anak miskin & undang Peter Carey dan Beli pengaruh Prabowo di Washington, YAD kucurkan Rp7,8 Miliar


Tidak banyak yang bisa diketahui dari pernyataan yang kabur ini. Bukankah apa yang tertulis menjadi tujuan lobbying ini sesungguhnya juga merupakan fungsi dari kedutaan besar Indonesia di Washington? Apa sesungguhnya yang di-lobby oleh YAD? Apa isu yang spesifik yang membuat Hashim dan YAD, mengeluarkan uang sedemikian banyak untuk usaha lobbying? Persoalan ini akan dibahas lebih mendetail kemudian.


Perusahan yang dipilih untuk melakukan lobbying adalah Williams Mullen. Ini adalah perusahan yang termasuk skala kecil dalam bisnis lobbying.14 Willams Mullen semula hanya perusahan firma hukum dan lobbying di tingkat lokal, terutama di negara bagian Virginia dan North Carolina. Namun sejak 2011, dia berekspansi ke Washington DC dan memulai pekerjaan untuk me-lobby pemerintah federal Amerika. Ekspansi ke Washington DC dilakukan dengan mempekerjakan lobbyist ternama Mike Ferrel, orang yang menjadi kepala lobbyist untuk kepentingan YAD.


Menurut situs OpenSecrets.org, sebuah lembaga yang menelusuri semua dana-dana politik Washington DC, pada tahun 2013, pendapatan Williams Mullen dari usaha lobbying sebesar US$ 1.270.000.00. Dari total pendapatan itu US$660.000.00 disumbang oleh YAD. Artinya, YAD menyumbang lebih dari setengah pendapatan Williams Mullen pada 2013.15


Ada lima orang lobbyists yang dipekerjakan untuk menangani kepentingan YAD. Sebagaimana biasanya, para lobbyists berasal dari berbagai spektrum ideologis. Willams Mullen sendiri cenderung Republikan dalam orientasi politiknya.16 Kelima lobbyist yang disewa YAD punya orientasi politik yang berbeda. Mereka adalah Michael J. Ferrell (Demokrat, D);17 Thomas R. Jolly (D);18 Jill Grabowski (D);19 Singleton McAllister (D); 20 dan Charles D. Nottingham (R).21


Tim yang menangani kepentingan lobby YAD juga memiliki keahlian yang berbeda-beda. Ferrel, Jolly, dan McAllister adalah orang yang malang melintang baik di bidang legislatif maupun dalam cabang eksekutif dari pemerintahan. Grabowski adalah seorang ahli marketing dan public relations. Sementara Chip Notthingham selain ahli transportasi adalah juga operator politik di DPR untuk Partai Republik.


Lobbying adalah adalah aktivitas politik yang sah secara hukum di Amerika. Para lobbyist dipekerjakan oleh kelompok-kelompok kepentingan untuk memajukan kepentingan mereka dalam sebuah undang-undang atau kebijakan pemerintah. Umumnya yang menjadi lobbyist adalah bekas politisi, bekas pegawai Kongres, atau bekas operator politik/organisator kampanye. Mereka tahu siapa yang harus diajak bicara untuk menyelaraskan kepentingan kliennya. Hasil kerja mereka bisa mempengaruhi kebijakan pemerintahan atau UU yang ditelorkan oleh Kongres.


Publik Amerika memandang lobbying sebagai sesuatu yang sangat negatif. Istilah yang sering dipakai untuk menggambarkan para lobbyist ini adalah orang yang pekerjaannya ‘jual beli pengaruh.’ Banyak orang memandang bahwa demokrasi diturunkan derajatnya oleh usaha lobbying, karena oleh para lobbyists politik ditentukan oleh uang. Siapa yang memiliki uang, dia pasti mampu membayar lobbyist dan mempengaruhi kebijakan pemerintah (baik dalam bentuk undang-undang maupun regulasi lainnya) sehingga sesuai dengan kepentingannya.


Itu sebabnya, sangat sedikit politisi yang mengawali karirnya sebagai lobbyist karena citra lobbyist sedemikian buruknya. Namun, secara ekonomi, lobbying adalah sebuah industri yang bernilai milyaran dollar. Mantan politisi atau mantan pejabat publik seringkali terjun ke dalam binis lobbying setelah keluar dari politik. Gaji sebagai pejabat publik yang kecil mendorong para mantan politisi sarat pengalaman dan ketrampilan politik itu terjun ke bisnis lobbying.22


YAD bukanlah lembaga pertama yang membayar lobbyist untuk mempengaruhi pemerintah Amerika. Pada jaman Orde Baru, usaha lobbying Indonesia di Amerika dilakukan oleh perusahaan-perusahaan Amerika yang beroperasi di Indonesia. Perusahan-perusahan tersebut membawa kepentingan Suharto secara tidak langsung karena ada kepentingan bisnis mereka yang terkait dengan Suharto.23 Namun, beberapa kali pemerintahan Suharto juga membayar lobbyist untuk memoles citra Indonesia di depan pemerintah Amerika. Perusahan Hill & Knowlton dan White & Case, diketahui telah menerima bayaran dari pemerintah Indonesia sebesar US$6.8 juta antara tahun 1991-92.


Setelah pembantaian Santa Cruz di Dili, Timor-Timur, pada 12 November 1991, Indonesia membayar perusahan lobbying Burson-Marsteller sebesar US $5 juta untuk ‘membantu memperbaiki citra negara dalam soal HAM dan lingkungan.’ Pada tahun 1996, pemerintah Orde Baru juga memperbarui kontrak dengan Burson-Marsteller dan menyerahkan US $5 juta lagi.24


Lobbying menjadi semakin umum setelah Suharto jatuh. Jika pada masa Orde Baru pemerintah turun tangan langsung untuk me-lobby, maka dalam periode selanjutnya lobbying juga dilakukan lewat yayasan-yayasan yang tidak terlalu jelas peruntukannya. Pada awal tahun 2001, Yayasan Sekar Mahoni Sakti diketahui telah menyewa Advantage Associates untuk ‘menciptakan pandangan postif tentang Indonesia di Kongres, administrasi pemerintahan, dan pada Departemen Pertahanan.’


Namun ada juga tujuan lainnya, yaitu menghapus embargo suku cadang pesawat militer C-130.25


Dari penelusuran saya tentang lobbying ini, saya juga menemukan bahwa Jendral Wiranto pernah dua kali menyewa lobbyists di Washington. Yang pertama adalah pada tahun 2000. Dalam dokumen yang saya dapatkan, di tahun itu Wiranto menyewa sebuah perusahan bernama Eins Communications. Biaya untuk lobbying itu adalah US$20,000.00 per bulan untuk jangka waktu yang akan ditentukan kemudian. Eins Communications akan memberikan jasa ‘media outreach’ kepada Wiranto melalui pengorganisasian wawancara dengan Wiranto, baik dengan media cetak maupun elektronik, penulisan opini di koran-koran (atas nama Wiranto),26 dan menuliskan editorial – yang tentu saja menurut kepentingan si klien, yakni Jenderal Wiranto.


Pada tahun 2001, Wiranto menyewa perusahaan lobbying lain, Trans Pacific Partners, LLC. atau TPP, yang menyediakan jasa konsultasi public relations kepada Wiranto. Perusahan ini berencana membangun sebuah website yang secara berkala akan diisi dengan berbagai informasi yang berhubungan dengan kejadian-kejadian pada saat referendum tahun 1999 di Timor Timur.


Selanjutnya, dalam dokumen pencatatan yang ada pada Departemen Kehakiman AS, disebutkan bahwa, ‘penyebaran informasi ini ditujukan untuk mengoreksi kesalahan persepsi publik terhadap aktivitas-aktivitas Wiranto selama masa transisi status Timor-Timur.’ TPP juga menawarkan untuk memberikan bimbingan kepada Wiranto guna memperbaiki citranya di Amerika.


Untuk jasa ini, TPP akan menerima bayaran US$250,000.00 dan US$50,000.00 untuk biaya-biaya operasional. Wiranto harus membayar semua biaya perjalanan ke Indonesia (termasuk tiket pesawat kelas bisnis dan perjalanan darat).


Pemerintah Indonesia juga pernah menyewa mantan senator dan calon presiden dari Partai Republik Bob Dole, untuk melobi pemerintah AS dalam kasus Pertamina vs Karaha Bodas. Dalam kasus ini, Pertamina dianggap mengingkari kontrak kerja dengan perusahan AS Karaha Bodas, Inc. dalam pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi di Jawa Barat. Bob Dole sendiri adalah penasehat pada perusahaan Alston & Bird, yang disewa pemerintah untuk melobi pemerintah AS.


Alston & Bird tampaknya tidak hanya bertugas melobi dalam urusan Pertamina. Isu yang tidak kalah pentingnya adalah pencabutan pembekuan program pemerintah AS untuk militer Indonesia, khususnya International Military Education and Training (IMET) dan Foreign Military Financing (FMF). Yang menarik, mereka yang terlibat dalam usaha lobbying ini adalah orang-orang di sekitar Presiden Megawati Sukarnoputri.


Andreas Harsono, jurnalis investigatif yang menelisik kasus ini menemukan bahwa Yohannes Hardian Widjonarko, bendahara sebuah organisasi yang bernama Yayasan Kawula Alit Nusantara, bertanggungjawab melakukan pembayaran kepada Alston & Bird.27 Yayasan ini terkait dengan Taufik Kiemas, yang tidak lain adalah suami Megawati. Tjahjo Kumolo, inner circle Megawati menjadi direktur eksekutif yayasan ini. Penelusuran kemudian mendapati bahwa uang yang dipakai untuk membayar Alston & Bird berasal dari pengusaha Peter Sondakh dari Rajawali Group.


Lembaga pemerintah Indonesia juga pernah melakukan upaya lobby ini. Pada bulan Mei 2005, Yayasan Gus Dur, sebuah yayasan yang didirikan oleh mantan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), diketahui telah menandatangi kontrak dengan firma lobbying Richard L. Collins & Co. Penelusuran yang dilakukan kemudian oleh The Center for Public Integrity menemukan bahwa lobbying ini sesungguhnya dilakukan oleh BIN (Badan Intelijen Negara). Yayasan Gus Dur hanya dipakai namanya untuk lobbying ini tanpa Gus Dur sendiri mengetahuinya. Lobbying ini bertujuan untuk mendesak pemerintah AS agar memulai lagi latihan-latihan militer yang dulu pernah dilakukan.28


Latihan-latihan ini dihentikan karena pelanggaran HAM yang dilakukan militer Indonesia, terutama dalam pembantaian Santa Cruz di Dili itu.


Usaha untuk membeli pengaruh di Washington, ternyata tidak saja dilakukan oleh pihak pemerintah. Pada awalnya, pengusaha-penguasaha Amerika yang memiliki kepentingan di Indonesia melakukan lobby untuk kepentingan pemerintah Indonesia. Keadaan kemudian bergeser ketika lembaga-lembaga pemerintah yang melakukan lobby. Ada pula keterlibatan yayasan-yayasan yang terkait pada elit yang sedang berkuasa, seperti Yayasan Sekar Mahoni Sakti dan Yayasan Kawula Alit Nusantara.


Yang membedakan Yayasan Arsari Djojohadikusumo adalah bahwa pengurus Yayasan ini berada di luar kekuasaan. Sejauh yang saya ketahui, Yayasan Arsari tidak terkait dengan kepentingan militer atau pun lembaga-lembaga negara lainnya. Dengan demikian, menarik sebenarnya untuk mengetahui, apa sesungguhnya tujuan dari lobbying yang dilakukan Arsari? @bersambung


*Penulis adalah peneliti masalah-masalah politik militer dan jurnalis lepas (freelance). Tulisannya pernah muncul di Prisma, Jurnal Indonesia, dan Inside Indonesia.


Sumber: Indoprogress


alexa ComScore Quantcast

Google Analytics NOscript

0 comments:

Post a Comment