Friday, January 30, 2015

Pakar penerbangan sebut AirAsia QZ8501 tak jatuh akibat Icing

Pakar penerbangan sebut AirAsia QZ8501 tak jatuh akibat Icing




LENSAINDONESIA.COM: Pakar Penerbangan dan invesitigator swasta kecelakaan pesawat, Gerry Soejatman mengatakan, jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501 di Selat Karimata, Kalimantan Tengah bukan akibat Icing karena berada di sekeliling badai.


Icing adalah terbentuknya es akibat kondisi atmosfer pada mesin atau permukaan pesawat.


Baca juga: Basarnas sebut operasi evakuasi AirAsia QZ8501 masih berlanjut dan Operasi evakuasi AirAsia QZ8501 dihentikan


Gerry juga mengungkapkan, Icing juga pernah menjadi salah satu penyebab Air France 447 jatuh ke Samudra Atlantik pada 1 Juni 2009 lalu.


“Pesawat kena es atau icing karena berada di sekeliling awan badai. Icing ini masalah lama,” kata pakar penerbangan dan investigator swasta kasus kecelakaan pesawat, Gerry Soejatman seperti dikutip CNN Indonesia, Jumat (30/01/2015).


Menurut Gerry, dalam dunia penerbangan, Icing merupakan persoalan lama. Dan kerap terjadi saat perubahan iklim seperti saat ini.


“Saya khawatir icing akan lebih sering terjadi,” kata Gerry. Menurutnya, cuaca saat ini relatif ekstrem ketimbang dahulu” ungkap pria yang membantu melakukan investigasi secara independen.


“Icing memang persoalan lama, tapi sepertinya akhir-akhir ini dengan perubahan iklim, saya khawatir icing akan lebih sering terjadi,” kata Gerry. Menurutnya, cuaca saat ini relatif ekstrem ketimbang dahulu.


“Beberapa pitot tube lama di beberapa tipe pesawat cenderung gampang terkena es, seperti pitot tube Airbus A330. Oleh sebab itu pabriknya diminta untuk mengganti dengan yang lebih baru, yang lebih tahan terhadap es,” ujar Gerry.


Pitot tube ialah tabung untuk mengukur kecepatan pesawat. Pada kasus Air France 447 yang menggunakan Airbus A330, ada es yang mengeblok pitot sehingga komputer jadi salah mendeteksi dan menerima data aliran udara, membuat pembacaan kecepatan kacau, data tak valid, dan akhirnya sistem meminta pilot untuk menerbangkan pesawat sendiri secara manual, tanpa autopilot.


Menurut Gerry, sesungguhnya batas sertifikasi pesawat terkait icing pada A330 sudah tercapai. “Tapi kadang kondisi alam lebih ganas, jadi diganti dengan yang jauh lebih baik dari standar yang sudah disertifikasi,” kata dia.


Sementara AirAsia QZ8501 menggunakan Airbus jenis A320 yang lebih kecil ketimbang A330, dengan kapasitas 180 penumpang. “Jenis itu seharusnya lebih baik untuk menghadapi icing. Memang ada beberapa kasus icing pada jenis itu, tapi tidak sesering yang menimpa A330,” ujar Gerry.


Pertanyaannya, apakah AirAsia QZ8501 juga terkena icing seperti yang terjadi pada Air France 447, sebab kedua pesawat sama-sama melintasi cuaca buruk sebelum jatuh ke laut? “(Ketua KNKT) Pak Tatang sudah bilang kalau AirAsia ini berbeda dengan Air France. Berarti bukan karena icing,” kata Gerry.


Di antara dua kumulonimbus


Gerry yang sempat menyinggung soal AirAsia QZ8501 dalam perbincangannya dengan Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi Tatang Kurniadi itu lantas menunjukkan peta cuaca dari satelit saat QZ8501 melintas. Peta itu ia ambil dari situs Weather Graphics.


Peta badai


Berdasarkan peta tersebut, ujar Gerry, terlihat sesungguhnya QZ8501 telah lolos dari awan badai atau kumulonimbus ketika kemudian jatuh ke laut. “Dari gambar ini, terlihat kumulonimbus sudah berada di belakang posisi pesawat. Pesawat sudah melewati awan badai, sudah lolos,” kata dia.


Meski demikian, di depan pesawat itu ada kumulonimbus lainnya, tapi pada jarak yang masih cukup jauh. “Awan badai yang di depannya masih bisa dihindari. Pilot bisa mencari jalan. Bisa ke kiri yang tak terlalu jauh dari rutenya,” ujar Gerry.


Sementara itu, dalam keterangan AirNav Indonesia sehari sesudah kecelakaan, 29 Desember 2014; berdasarkan pemaparan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan di hadapan Komisi V DPR pada 20 Januari; dan menurut laporan hasil investigasi awal KNKT kemarin, 29 Januari; seluruhnya memang menyatakan: pilot minta kepada menara pemandu lalu lintas udara atau air traffic controller (ATC) Bandara Soekarno-Hatta Jakarta untuk belok atau melakukan manuver ke kiri, dan ATC mengizinkan manuver tersebut.


Namun setelah bermanuver ke kiri itulah pesawat mendadak naik dengan kecepatan di atas batas normal, berhenti di ketinggian 37.400 kaki, lalu jatuh. (Baca: Perbandingan Laporan KNKT dengan Pemaparan Menhub soal QZ8501)


Jika bukan karena icing, lantas karena apa AirAsia QZ8501 jatuh? Gerry punya sejumlah teori, namun tak mau membeberkannya rinci. Ia meminta semua pihak menunggu laporan hasil investigasi final KNKT.


Kemarin, KNKT telah memaparkan laporan hasil investigasi awal mereka. Laporan itu antara lain mengungkapkan pesawat dikemudikan oleh kopilot, bukan pilot, sejak lepas landas dari Bandara Juanda, Surabaya menuju Bandara Changi, Singapura, sebelum akhirnya jatuh ke laut di Selat Karimata. Tukar posisi antara pilot dan kopilot dalam mengemudikan pesawat adalah hal biasa dalam dunia penerbangan.@ridwan_LICOM


alexa ComScore Quantcast

Google Analytics NOscript

0 comments:

Post a Comment