Thursday, April 30, 2015

PN Surabaya sepakat Putusan MK soal Praperadilan Penetapan Tersangka

PN Surabaya sepakat Putusan MK soal Praperadilan Penetapan Tersangka

LENSAINDONESIA.COM: Pengadilan Negeri (PN) Surabaya merespon positif atas putusan Mahkamah Konstitusi terkait perubahan ketentuan Pasal 77 KUHAP tentang obyek praperadilan dengan menambah penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan termasuk sebagai obyek praperadilan.

Humas PN Surabaya Burhanudin menilai putusan tersebut merupakan pembelajaran bagi penyidik baik Kepolisian Maupun Kejaksaan agar lebih berhati-hati dan tidak terlalu mudah menetapkan seseorang menjadi tersangka.

Baca juga: Praperadilan Suryadharma Ali ditolak PN Jaksel dan Sidang praperadilan SDA ditunda sehari

“Bisa menjadi kontrol penyidik agar tidak seenaknya menetapkan tersangka, jangan karena memilik kewenangan sehingga merasa menjadi super body dan meninggalkan keprofesionalan dan sumpah jabatannya, “jelasnya di PN Surabaya, Kamis (30/4/2015).

Dijelaskan Burhanudin, sepanjang Januari-April 2015 ini, pihaknya telah menerima 9 permohonan praperadilan. Dari jumlah tersebut, rata-rata menyinggung masalah penahanan dan penangkapan. “Kalau masalah penetapan tersangka memang belum ada, kan baru kemarin diputus MK,”ujarnya.

Menurut Burhanudin, tak menutup kemungkinan putusan MK tersebut akan berdampak bertambahnya jumlah pemohon praperadilan di PN Surabaya. “Pastinya akan berdampak pada jumlah perkara yang masuk,”katanya.

Terpisah, pendapat berbeda dilontarkan Toba Siahaan, Advokat yang tinggal di Surabaya. Menurutnya, masuknya penetapan tersangka dalam obyek praperadilan sangatlah tidak tepat. Dia beralasan, permohonan praperadilan bukan berbicara masalah materi perkara, melainkan soal prosedur proses penanganannya. “Bicara tentang tersangka berarti bicara tentang pembuktian dan itu tidak masuk materi perkara,” jelasnya di PN Surabaya.

Menurut Toba, untuk menjadikan seseorang tersangka membutuhkan sejumlah tahapan yang harus dilalui, melalui pemeriksaan dan bukti bukti. “Jika bukti tersebut dinilai cukup kuat barulah penyidik menetapkan orang tersebut menjadi tersangka,” sambungnya.

Meski putusan MK tersebut dapat menguntungkan posisinya sebagai seorang advokat, namun Toba tak memandang demikian. Dia lebih menekankan kepada konsekuensi yang diberikan negara terhadap para terdakwa yang dihukum bebas oleh Pengadilan.

Selain merehabilitasi nama baik terdakwa, semestinya negara harus membayar besar, hal itu dilakukan supaya penyidik lebih berhati-hati dalam menetapkan tersangka. “Karena masih banyak penyidik polisi dan jaksa yang dengan mudah menetapkan tersangka dan di P21 oleh jaksa, intinya mereka tidak mendahulukan pembuktian dulu. Mereka beranggapan masalah pembuktian dibuktikan di pengadilan, itu yang menyebabkan hukum di negeri ini menjadi konyol,” terangnya.

Untuk memberikan efek jera, penyidik harus diberikan sanksi yang signifikan. “Bila perlu sanksi pemecatan,” tegasnya.

Seperti diketahui, penetapan tersangka masuk obyek praperadilan ini diputuskan hakim MK pada Rabu (23/4/2015). Putusan itu merupakan uji materi yang diajukan terpidana kasus bio remediasi Chevron. Dia mengajukan permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Alhasil, permohonanya dikabulkan hakim MK melalui putusan dissenting opinion (pendapat berbeda) dan occurring opinion (alasan berbeda). Dari 9 hakim konstitusi, 3 hakim konstitusi yang mengajukan dissenting opinion yakni I Gede Dewa Palguna, Muhammad Alim, dan Aswanto. Sementara 1 hakim kontitusi yang mengajukan concurring opinion yaitu Patrialis Akbar.

MK beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa `bukti permulaan`, `bukti permulaan yang cukup` dan `bukti yang cukup`. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti.

Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia).

Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu.

Sementara dalam pranata praperadilan, meski dibatasi secara limitatif dalam Pasal 1 angka 10 jo Pasal 77 huruf a KUHAP. Namun, penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang terbuka kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang oleh penyidik yang termasuk perampasan hak asasi seseorang. Memang Pasal 1 angka 2 KUHAP kalau diterapkan secara benar tidak diperlukan pranata praperadilan. Namun, bagaimana kalau ada yang salah dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka?

Sehingga penetapan tersangka menjadi bagian dari proses penyidikan yang dapat dimintakan perlindungan melalui pranata praperadilan. Alasannya bahwa pada saat KUHAP diberlakukan pada tahun 1981, penetapan tersangka belum menjadi isu krusial dan problematik dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Demikian pula, dalam putusan MK bernomor 65 /PUU-IX/2011 yang menghapus keberadaan Pasal 83 ayat (2) KUHAP. Dalam pertimbangan putusan itu, disebutkan sistem praperadilan sebagai salah satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang oleh penyidik/penuntut umum dalam melakukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penyidikan, penuntutan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan.@ian

alexa ComScore Quantcast
counter customisable
Google Analytics NOscript

0 comments:

Post a Comment