LENSAINDONESIA.COM: Pengamat politik Igor Dirgantara menilai, Pilkada di dalam UUD 1945 tidak masuk ke dalam rezim pemilu, namun masuk pada rezim pemerintahan daerah. Lantaran itu, dia menyarankan sebaiknya penyelesaian sengketa Pilkada melalui badan ad hoc saja.
“Yang penting disini adalah perlu ada kejelasan untuk mengatur syarat hakim ad hoc yang diberi kewenangan menangani sengketa pilkada tersebut,” ujar Igor kepada wartawan di Jakarta, Rabu (4/1/2015).
Baca juga: Mendagri optimistis revisi UU Pilkada tak ganggu tahapan pilkada dan Usai disahkan, UU Pilkada langsung direvisi Komisi II
Jika penyelesaian sengketa harus kembali ke MA, menurut Igor, sumber daya manusianya masih kurang memadai. Pasalnya, MA hanya akan menggunakan empat PTUN, sedangkan untuk banding langsung ke MA.
Selain itu, penyelesaian sengketa melalui MA juga bisa menimbulkan potensi korupsi melalui jual beli perkara, sebagaimana dulu yang terjadi pada kasus Akil Muchtar di MK.
“Jangan lupa, sengketa Pilkada tidak berlangsung tiap hari dan memiliki batas waktu persidangan/penyelesaian (14 hari), otomatis besar kemungkinan terjadi penumpukan berkas perkara terkait sengketa pilkada di MA,” pungkasnya. @yuanto
0 comments:
Post a Comment