Monday, April 27, 2015

CBA sinyalir kerugian negara Rp182,6 miliar di proyek Bantargebang

CBA sinyalir kerugian negara Rp182,6 miliar di proyek Bantargebang

LENSAINDONESIA.COM: Direktur Centre For Budget Analysis Uchok Sky Khadafi mendesak penyelidikan terhadap kerjasama Pemerintah Jakarta dengan PT. GTJ j.o PT.NOEI dalam rangka peningkatan sarana dan prasarana pengelolaan dan pengoperasian TPST Bantargebang.

“Dimana PT. GTJ j.o PT.NOEI menawarkan metode pengelolaan dan pengoperasian sampah diantara untuk dijadikan produk yang bernilai ekonomis, meminimalisasi dampak lingkungan,” kata Uchok kepada Licom di Jakarta, Selasa (28/4/2015).

Baca juga: Pengamat: Aneh, SBY mau jadi "kacung" di Transcorp dan CBA: Rekening "kurus" mantan pejabat lebih mencurigakan

Menurut dia merehabilitas lahan TPA, menyatukan kegiatan pemanfaatan nilai ekonomis sampah (organik dan non organik) menjadi listrik kompos bahan daur ulang dan produk ekononi lainnya, dan memperpanjang usia pakai TPA Kemudian, dari kerjasama ini, pemda Jakarta atau dinas kebersihaan akan mendapatkan kompensasi dalam bentuk
“tipping fee” yang dihitung dari pertonase sampah masuk di TPST Bantargebang.

“Dari kerjasama ini, maka teknologi yang ditawarkan adalah pengolahaan sampah dengan menggunakan sanitary landfil dan GALFAD,” jelasnya

Dikatakan Uchok membangun 3 fasilitas pemilahan dengan masing masing kapasitas pemilahan adalah 1000 Ton/hari. Pemilahan I digunakan untuk pengomposan, pemilahan II untuk GALFAD, dan pemilahan III untuk sanitary landfill organik. Kemudian, fasilitas pemilahan I untuk pengomposan telah beroperasi, pemilahan II telah
dibangun namun belum beroperasi dan pemilahan III belum dibangun, serta pengoperasian teknologi GALFAD belum dilakukan karena sarana thermal process/pyrolysis belum dibangun sehingga belum dapat mengurangi residu sampah.

“Padahal sesuai penawaran awal, GALFAD sudah seharusnya beroperasi pada akhir tahun 2011 dengan sampah kapasitas pemilahan 1000 ton/hari.Selanjutnya, alasan pihak PT. GTJ j.o PT.NOEI bahwa fasilitas II, pemilahan III, dan GALFAD belum beroperasi dikarenakan pemulung melakukan demo penolakan pembangunan fasilitas pemilahan, dan
volume sampah yg masuk tidak sesuai dengan desain awal sehingga diputuskan untuk GALFAD dan landfill organik ditunda dengan mengajukan addendum,” ujarnya.

Alasan penundaan seperti diatas hanya akal akalan pihak perusahaan saja. Alasan yang masuk akal adalah PT. GTJ j.o PT.NOEI tidak punya modal untuk investasi dalam proyek ini. Lihat saja, proyek ini, perusahaan harus menyediakan total pendanaan sebesar Rp700 miliar. Artinya, untuk membangun GALFAD dan landfill, PT. GTJ j.o PT.NOEI pada tahun 2010 harus punya Rp700 miliar.

Dalam laporan keuangan tahun 2010, PT. GTJ j.o PT.NOEI baru punya Rp93 miliar.

“Dan total pendanaan atau modal untuk investasi yang mereka punya pada tahun 2013, baru sebesar Rp497,7 miliar.Pada akhirnya, dinas kebersihan melakukan addendum. Artinya, dinas kebersihan ini Mau melakukan addendum ibarat, tidak ada makan siang gratis,” kata dia.

“Apalagi addendum yang dilakukan sampai empat kali, dan Hal ini merupakan kebodohan dinas kebersihan Jakarta. Padahal, perusahaan ini, mengajukan praktik addendum hanya untuk mengibuli pemerintah Jakarta, yang tujuannya untuk memundurkan jadwal investasi sarana prasarana baru tanpa mempertimbangkan struktur tipping fee, serta
menghindarin denda keterlambatan dan kalalaian atas pelaksanaan kerjasama ini,” jelasnya.

Selanjutnya, addendum ini, mengakibatkan dinas kebersihan mengalami kerugian sebesar Rp182,6 miliar. Dimana pada tahun 2013, pihak perusahaan harus membayar sebesar Rp94,9 miliar, dan pada tahun 2012 harus membayar sebesar Rp87,6 miliar yang berasal dari sanksi denda keterlambatan dalam kerjasama ini.

Centre For Budget Analysis meminta aparat hukum untuk melakukan penyidikan atas kerjasama antara dinas kebersihaan dengan PT.GTJ j.o PT. NOEI ini. Yang pertama dilakukan aparat hukum adalah, penting untuk dipanggil kepala dinas kebersihan Pemda Jakarta yang berani melakukan addendum tanpa adanya surat kuasa dari Gubernur Jakarta, dan addendum ini tidak disusun dengan prinsip saling menguntungkan.

“Artinya, tidak ada makan siang gratis menyetujui begitu saja kerjasama ini dengan melakukan addendum. Terakhir, perlu juga dipanggil Gubernur Ahok oleh aparat hukum karena gubernur Jakarta tidak melakukan pengawasan dan pengendalian yang optimal atas Surat perjanjian kerjasama yang menjadi wewenangnya. Maka si Ahok terlalu banyak bacot daripada kerja,” pungkasnya. @endang

alexa ComScore Quantcast
counter customisable
Google Analytics NOscript

0 comments:

Post a Comment