SEMANGAT Meneg BUMN Dahlan Iskan (DI) agar Indonesia menjadi salah satu negara yang memproduksi mobil listrik bak adagium “Garuda mengepakkan sayap pantang menginjak tanah”. Meski banyak sandungan, tetap menggelora.
Tapi, persoalannya bukan cuma terganjal masalah perizinan. Apalagi, dukungan memadai dari berbagai pihak terkait juga seperti setengah hati. Belum lagi, ada yang menyeret-nyeret ke politik. Toh, Menteri DI tetap keukeuh demi solusi “memerdekakan” Indonesia dari jajahan BBM.
Baca juga: Dahlan Iskan: Tahu Indonesia dijajah BBM, kok gak berbuat sesuatu? dan Dahlan ingatkan smartphone bisa bahayakan keprofesionalan jurnalistik
Kenapa DI sampai saat ini masih tetap “ngotot” memperjuangkan gagasannya itu? DI pun blak-blakan, ini juga seperti yang diuraikan saat memberikan kuliah umum di depan civitas akademika Surya University di Suymmarecon, Serpong, Tangerang, beberapa waktu lalu.
“Kenapa selama ini saya ngotot menciptakan mobil listrik? Landasannya, ya akal sehat. Kita ini seumur hidup akan dijajah oleh BBM. Nah, kalau sudah tahu seumur hidup, kok kita tidak berbuat sesuatu?”, demikian DI kembali mengungkapkan kegelisahannya.
Mobil listrik yang generasi satu, diakui DI, Tucuxi, dan sempat dia tabrakkan ke tebing di Jawa Timur. Problemnya memang semua tahu.
DI bersyukur terkait peristiwa tabrakan itu. “Pertama, saya tidak meninggal dunia. Bahkan tidak terluka. Kedua, saya berterimakasih, karena perdebatan soal mobil listrik di Indonesia itu ada jalan keluarnya,” kata DI sembari membetulkan mike-nya.
Jalan keluar yang dia maksud, yaitu memanggil seorang anak muda yang sudah 15 tahun di Jepang. DI mengajaknya pulang ke Indonesia. “Karena dia mampu menciptakan motor listrik. Sudah punya hak paten 14 di Jepang,” ungkap DI sembari .
Lebih dari itu, DI mengaku semakin mengetahui kenapa anak muda berpotensi tingkat dunia justru mengabdikan diri ke Jepang. “Persoalannya, saya tahu di sini tidak ada yang bisa memberikan gaji besar. Maka, saya bilang, gaji saya sebagai Menteri Anda ambil. Jadi, dia gajinya gaji Menteri. Tiap bulan, gaji saya langsung masuk ke rekeningnya dia,” ungkap DI, serius.
Nah, mobil anak muda bernama Riki tadi dan Kang Dasep dari ITB Bandung itu sama-sama memiliki konsep mobil listrik yang memakai gearbox. Jadi, dari Bandung itu ada Dasep dan Riki. Tetapi ada satu lagi dari Amerika, namanya Danet, malah berprinsip tidak perlu pakai gearbox.
“Saya sebagai orang yang tidak ahli tidak bisa memutuskan. Yang betul yang mana. Ya sudah, saya bilang, bikin saja. Yang mau pakai gearbox silahkan bikin, yang tidak pakai gearbox ya silahkan bikin. Dua-duanya saya biayai pribadi.”
Hasilnya, yang nabrak itu tidak pakai gearbox. Jadi sewaktu turun tajam, sepenuhnya tergantung kepada rem. Sedangkan yang pakai gearbox itu dikendalikan oleh gigi. “Karena itu, saya ambil kesimpulan, untuk Indonesia harus pakai gearbox,” kata DI.
Dari pengalaman itu, DI mengurai alasan kenapa begitu ngotot membangun dan mengembangkan mobil listrik? “Landasannya, ya itu. Karena kita seumur hidup akan tergantung kepada BBM,” ungkap DI dengan nada galau.
Kalau penggunaan mobil listrik ini bisa memasyarakat, tentu penggunaan BBM-nya akan turun. Di samping itu, kesehatan masyarakat Indonesia tentunya juga akan lebih baik. Karena tidak perlu lagi menghadapi polusi yang luar biasa seperti dialami kota-kota besar di Indonesia.
Persoalannya, peraturannya masih belum memungkinkan. “Saya sudah terus dorong kepada Menteri-Menteri yang bersangkutan. Ayo kita kembangkan mobil listrik. Kan kita sudah bisa bikin,” cerita DI, lagi.
Setelah Tucuxi itu, dapat menghasilkan sebuah pola. Ternyata, DI tidak berhenti. DI ciptakan generasi berikutnya. Yaitu Sello, yang warna kuning itu. “Sekarang sudah bagus sekali. Cuma saya tidak berani mengendarainya di jalan raya, karena legalitasnya belum ada,” ungkapnya.
Sementara itu, di luar negeri, mobil listrik terus merajalela. Terus berkembang dengan baik. Dulu, di Amerika mobil listrik dianggap tidak akan laku. Tapi di Amerika, Tesla itu, laku sekali. Sampai indennya mencapai enam bulan. Sedangkan kita belum bisa seperti itu.
“Kalau begitu, lalu apa solusinya? Karena itu, minggu ini saya perintahkan. Begini aja, deh. Bikin becak listrik. Insya Allah dua minggu lagi jadi. Saya akan bikin becak listrik. Tetap mancal, tetapi enteng sekali. Kenapa harus mancal? Supaya rasa becaknya ada.”
Kalau sepenuhnya listrik, menurut DI, nanti rasa becaknya tidak ada. Tetapi sebenarnya yang penting, ya itu tadi. Mumpung peraturannya juga tidak ada.
“Menurut saya, keharusan kita mengembangkan mobil listrik itu sudah tidak bisa ditawar. Kenapa? Kalau kita memproduksi mobil seperti Malaysia–dengan Proton, itu kan mobil BBM juga –kita tidak akan bisa bersaing dengan Malaysia. Tidak akan bisa bersaing dengan Jerman. Tidak akan bisa bersaing dengan Amerika. Mereka sudah terlalu dominan,” cerita DI, kali ini, lebih bersemangat.
Kalau ada yang bertanya, Pak Malaysia kok bisa, masa kita nggak bisa? “Saya tidak mudah tergoda omongan seperti itu. Karena mobil seperti yang dikembangkan Malaysia, akhirnya tidak bisa bersaing juga. Akhirnya, toh dijual juga. Karena itu, saya tetap berprinsip, kita harus mengembangkan mobil listrik.”
Mengapa mobil listrik? “Mumpung seluruh dunia baru mulai mengembangkan mobil listrik.Pengembangan mobil listrik ini saya ibaratkan marathon. Kalau kita terjun ke mobil BBM, ibarat kita marathon dengan Jepang. Maratonnya dari Serpong ke Surabaya. Mobil BBM-nya Jepang itu sudah sampai di Surabaya. Kita belum berangkat dari Serpong. Mana bisa menang?”, tanya DIn dengan nada gusar.
Benar, ungkapan DI. Bagaimana bisa menang? Lawan sudah sampai di garis finish. Sedangkan Indonesia berangkat saja belum.
Tapi kalau mobil listrik, ungkap DI, semua baru berangkat dari Serpong. Jepang baru mulai, Amerika baru mulai, Prancis dan Jerman juga baru mulai. “Dan kita juga baru mulai. Jadi peluang untuk menang atau paling tidak untuk seimbang itu ada. Mungkin akan kalah juga. Tetapi di atas kertas, kemungkinan itu masih ada,” kata DI, mengingatkan, lantas disambut tepuk tangan peserta kuliah umum. @Catatan Nasmay L Anas (ex wartawan Jawa Pos di Jakarta).
0 comments:
Post a Comment